Kalau berbicara perihal Surat Perintah Sebelas Maret atau yang dikenal dengan Supersemar, pikiran orang langsung tertuju pada dua sosok, yaitu Bung Karno, yang saat itu menjabat sebagai Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi Presiden Republik Indonesia, dan Pak Harto, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkat Darat—yang di kemudian hari di sekitar hari-hari Gestapu diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat menggantikan Jenderal Yani yang gugur dibunuh PKI yang dipimpin DN. Aidit.
Oleh sebagian orang, Supersemar dianggap sebagai tool bagi Pak Harto untuk mengambil kekuasaan dari Bung Karno. Supersemar dianggap sebagai coup d’Etat Pak Harto atas Bung Karno. Coup d’Etat dalam bahasa Perancis sederhananya diartikan sebagai perilaku merobohkan legitimasi. Di Indonesia, dikenal dengan kudeta. Topik tentang Supersemar sampai sekarang masih menjadi misteri sejarah bahkan dianggap sebagai sejarah kelam Indonesia—meskipun di sisi yang lain, mungkin bangsa Indonesia perlu berterimakasih kepada Pak Harto yang telah memberangus PKI dari Bumi Indonesia dengan Supersemar itu. Supersemar sampai saat ini yang aslinya, masih dipertanyakan keberadaannya dan siapa yang menyimpannya. Penulis sedikit meyakini bahwa “surat sakti” tersebut sengaja disimpan oleh Pak Harto demi keuntuhan bangsa Indonesia. Boleh jadi Pak Harto menyimpan Supersemar, biar bangsa Indonesia fokus untuk memberantas PKI.
Bung Karno sempat tersinggung karena melihat Pak Harto terlalu lancang menggunakan Supersemar. Dalam pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1966, Soekarno mengecam pihak (baca: Pak Harto) yang telah menyalahgunakan perintahnya. Akan tetapi itu sudah terlambat. Bapak Soeharto sudah setengah jalan menggunakan Supersemar.
Karena topik tentang Supersemar masih menjadi misteri, maka ada banyak versi dan pendapat terkait esksistensi Supersemar. Sudah banyak buku yang diterbitkan. Sudah banyak tulisan yang dihasilkan. Supersemar telah menyebabkan terjadinya konflik yang berkepanjangan atau setidaknya perang dingin antara loyalis dan pendukung Bung Karno dengan loyalis dan pengikut Pak Harto. Terkait ini, saya ingin meminjam kata seorang teman bahwa sampai saat ini, rakyat Indonesia hanya terbelah ke dalam dua kubu, yakni kubu Bung Karno dan kubu Pak Harto. Hal ini tak dapat dipungkiri bahwa kedua negarawan tersebut telah memberikan pengaruh yang besar dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Sayangnya, terkait Supersemar itu sendiri, orang-orang hanya fokus menyalahkan Pak Harto. Pak Harto dianggap berdosa sudah mengambil kekuasaan dengan cara yang tidak baik. Ada juga yang menganggap Pak Harto tidak menghormati Bung Karno, bahkan ada yang menganggap Pak Harto merampas kekuasaan dari Bung Kurno. Beberapa dosen penulis pun di UGM juga menunjukkan subyektivitas mereka dalam menilai Pak Harto. Pak Harto dianggap salah dan Bung Karno menjadi korban. Meskipun itu secara eksplisit, tetapi penulis dapat memahami dari cara para beliau berkomentar dan mengkritik Pak Harto—yang sudah terlanjur dinilai otoriter. Tetapi itu sah-sah saja. Setiap orang boleh berpendapat berdasarkan pengalaman dan pandangannya. Seperti halnya penulis beserta keluarga yang “bernasib baik” zaman Pak Harto, sehingga sampai sekarang penulis mengidolakan Pak Harto.
Sangat jarang sekali orang menulis dan/atau berbicara perihal Supersemar dengan menempatkan Pak Harto sebagai pihak yang benar, yang mana paralel dengan itu juga mengkritik Bung Karno. Atau tidak usah menganggap sikap Pak Harto itu benar, minimal yang menempatkan Pak Harto dan Bung Karno pada posisi yang adil, penulis jarang melihat itu. Justru ada beberapa yang berpendapat secara proposional, penulis membacanya dari orang-orang yang dianggap dekat dengan Pak Harto. Penulis sebut saja beberapa buku tersebut, antara lain: Ini Bukan Kudeta, Dari Gestapu Ke Reformasi, dan Gestapu 65 karya Profesor Salim Said, orang Bugis yang guru besar di Universitas Pertahanan Indonesia. Sebagai seorang akademisi, ia cukup berimbang dan adil melihat Supersemar—termasuk peristiwa Gestapu. Bahkan Salim Said membantah kajian Benedict Anderson dan Ruth Mcvey yang terangkum dalam Cornell Paper yang mengatakan bahwa Pak Harto adalah dalang dari Gestapu. Buku lain—yang meskipun mungkin tak cocok dianggap sebagai rujukan—adalah memoar Probosutedjo yang berjudul Saya dan Mas Harto. Selain itu ada biografi Jenderal Yoga Sugama yang berjudul Jenderal di Balik Layar. Buku-buku tersebut, penulis melihatnya sebagai anomali di tengah lautan buku dan tulisan yang cenderung menyalahkan Pak Harto dengan Supersemarnya.
Tetapi sebenarnya penulis melihat ini cukup sederhana. Terlepas dari benar atau salahnya langkah yang diambil oleh Pak Harto, mulai dari tidak menghadiri sidang kabinet di Istana Negara karena alasan flu berat; kemudian mengutus Jenderal Yusuf, Jenderal Amirmachmud, dan Jenderal Basuki rahmat menemui Bung Karno di Istana Bogor untuk meminta surat perintah bagi Pak Harto; sampai langkah Pak Harto memberangus orang-orang yang terlibat dalam PKI, sikap Pak Harto, menurut penulis dapat dianggap wajar-wajar saja. Sebelum mengambil kekuasaan, Pak Harto sudah mengingatkan Bung Karno agar tidak terlalu dekat dengan PKI. Justru Bung Karno mendengungkan Nasakom. Tentu saja ini membuat ABRI (sekarang TNI) terutama Angkatan Darat berang. Bung Karno terkesan memaksakan Komunis untuk eksis dan bersatupadu dengan paham nasionalis dan agama.
Meskipun Pak Harto sudah mengingatkan berkali-kali, Bung Karno tetap kopping alias bandel. Istilah kopping pernah digunakan oleh Bung Karno untuk menyebut Pak Harto sebagai jenderal kopping karena kerap tidak patuh pada perintah Bung Karno. Karena ke-koppig-an Pak Harto ini pula, Bung Karno sempat enggan memilih Pak Harto sebagai KSAD menggantikan Jenderal Yani yang gugur. Bung Karno lebih memilih Jenderal Pranoto Reksosamodra—yang di kemudian hari dijebloskan ke penjara oleh rezim Orde Baru karena dituduh sebagai gembong PKI.
Alasan lain penulis membenarkan sikap Pak Harto adalah karena memang langkah tersebut sudah tepat dilakukan pada saat dan kondisi saat itu. Komunis sudah mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Peristiwa pembantaian oleh PKI di Madiun pada tahun 1948 sudah seharusnya dapat menjadi pelajaran. Terlepas dari kepentingan pribadi Pak Harto yang ingin berkuasa, langkah Pak Harto, penulis kira perlu mendapatkan kredit positif.
Melihat sikap Pak Harto yang mulai sulit dibendung dan arus demo mahasiswa yang makin kencang, pada suatu kesempatan Bung Karno bertanya kepada Pak Harto, “Harto, Jane aku iki arep kok apakke? (Harto, sebenarnya aku ini akan aku apakan? Aku ini pemimpinmu.” Kemudian dijawab oleh Pak Harto, “Bapak Presiden, saya ini anak petani miskin. Tetapi ayah saya setiap kali mengingatkan saya untuk selalu menghormati orang tua. Saya selalu diingatkannya agar dapat mikul dhuwur mendhem jero (memikul setinggi-tingginya, memendam sedalam-dalamnya; menghormat) terhadap orang tua.” (Baca: Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya). Dari percakapan tersebut, sebenarnya Pak Harto sangat menghormati Bung Karno. Tetapi keras kepala Bung Karno yang tetap merangkul PKI sudah sangat menghawatirkan. Ditambah lagi, menurut sebuah sumber, Aidit sangat pintar mencari muka Bung Karno. Beberapa orang menganggap sikap cari muka itu sebagai sikap menjilat.
Jika pada uraian di atas, penulis menggunakan perspektif Pak Harto untuk menyelamatkan bangsa dan negara, maka sekarang punulis ingin menguraikan langkah Pak Harto yang boleh jadi didorong oleh kepentingan pribadinya. Semua orang ingin berkuasa. Pak Harto bukanlah orang Bung Karno. Ada desas-desus yang mengungkapkan bahwa Bung Karno ingin menjadikan Jenderal Yani sebagai suksesornya. Oleh Sukmawati, putri Bung Karno pada acara ILC, mengungkapkan bahwa Pak Yani itu anak emas Bung Karno. Pak Harto yang seangkatan dengan Pak Yani, secara manusiawi mungkin agak merasa cemburu dengan ini. Saat itu Pak Yani sudah menjadi KSAD, sedangkan Pak Harto menjadi anak buah Pak Yani.
Dari perspektif ini, jelas ini murni konflik kepentingan. Gestapu kemudian Supersemar dijadikan sebagai momentum oleh Pak Harto untuk memanfaatkan kesempatan untuk menjadi penguasa Indonesia. Tentu harus ada intrik dan strategi untuk mencapai itu. Suatu waktu, Salim Said bertanya kepada Pak Nasution (Jenderal Besar A.H. Nasution), “Pak, Pak Harto itu komunis atau tidak?” Kemudian dijawab oleh Pak Nas (yang pernah menjadi kawan sekaligus lawan politik Pak Harto), “Pak Harto bukan komunis tapi oportunis”. Pertanyaan tersebut diajukan dua kali pada kesempatan yang berbeda oleh Salim Said kepada Pak Nas. Pak Harto juga orang cerdas yang tentu sudah berpikir matang sebelum mengambil keputusan, termasuk tidak hadir di rapat kabinet dengan alasan sakit dan mengutus tiga jenderal ke Istana Bogor. Jangankan untuk kekuasaan yang sebesar itu, pada pemilihan rektor atau dekan saja tentu ada intrik politik dan strateginya. Saling sikut dan saling gesek pun selalu ada.
Jadi penulis melihat bahwa langkah Pak Harto yang terdorong oleh kepentingan pribadipun wajar-wajar saja. Sedari awal, ia sadar bahwa ia bukanlah orang Bung Karno. Sedari awal pun atau setidaknya pasca meletusnya Gestapu, Bung Karno dan Pak Harto sudah berperang dingin. Jadi, hanya ada dua pilihan: merebut kekuasaan atau ditenggelamkan oleh lawan. Penulis pun kalau berada di posisi Pak Harto akan memilih merebut kekuasaan. Anda pun begitu sepertinya. Persoalannya Anda bersikap naif atau terbuka. Dalam konflik, terlepas dari istilah resolusi konflik, pasti ada pihak yang menang dan ada yang kalah. Ataupun minimal ada kepentingan yang dikorbankan oleh pihak yang kuat.
Konflik terkait Supersemar apapun itu adalah adu kepentingan. Siapa yang kuat itulah yang menang. Hidup memang begitu dan konflik, meskipun tidak semuanya, selalu berakhir pada dikorbankan salah satu pihak. Namun sayangnya sampai sekarang masih menjadi misteri dan berdampak pada terciptanya kubu Bung Karno dan kubu Pak Harto. Anda berada di Kubu yang mana? Kalau saya berada di kubu Pak Harto. (Penulis : Andi Fardian Mahasiswa Program Pascasarjana Jurusan Pembangunan Sosial dan Kemasyarakatan UGM-Yogyakarta).