Gunung Tambora |
205 tahun yang lalu, tepatnya pada hari Senin, 10 April 1815 selepas Maghrib, Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) meletus dengan maha dahsyat. Sebelum meletus, gunung ini merupakan gunung tertinggi di Indonesia dengan ketinggian sekitar 4.300 meter. Namun saat ini gunung Tambora tersisa hanya setinggi 2.851 meter. Letusan Tambora menghancurkan hampir setengah dari tubuh gunung tersebut dan meninggalkan kaldera dengan diameter 6 Km, luas 2.826 hektar dan kedalaman 1 Km.
Di sekitar Gunung Tambora pada saat itu terdapat tiga kerajaan yaitu kerajaan Tambora, Pekat dan Sanggar. Kerajaan-kerajaan tersebut diduga cukup makmur serta terlibat perdagangan dengan kerajaan sekitarnya dan VOC. Kerajaan Tambora dan Pekat musnah, tidak ada penduduk yang selamat, sedangkan Kerajaan Sanggar terdampak hebat, tetapi sebagian penduduk dan keluarga kerajaan ada yang selamat dan mengungsi.
Kronologi Letusan.
Diawali dengan asap yang semakin menebal berwarna hitam yang terjadi beberapa minggu sebelum peristiwa letusan paroksimal.
Pada 5 April 1815 malam, api keluar dari puncak Tambora dan terjadi suara gemuruh yang menggelegar selama berjam-jam yang terdengar hingga Ternate dan Jakarta, diikuti dengan lontaran hujan abu. Lima hari kemudian terjadilah letusan paroksimal yang maha dahsyat yaitu 10 April 1815 yang terdengar hingga ratusan mil jauhnya. Lava dan piroklastik mengalir menuruni lereng menghancurkan hutan-hutan dan desa-desa.
Letusan tersebut mengakibatkan puncak gunung runtuh dan baru berakhir pada 12 April 1815. Letusan ini diiringi halilintar sambung menyambung bagaikan ledakan bom atom, terdengar hingga ratusan kilometer jauhnya bahkan terdengar hingga ke P. Bangka dan Bengkulu. Gempa bumi yang diakibatkan oleh letusan ini dapat dirasakan oleh penduduk yang berada di Surabaya. Di Besuki, gelombang pasang mencapai 6 kaki, asap sangat tebal hingga seluruh P. Madura gelap selama 3 hari.
Kekuatan Letusan dan Material yang Diletuskan.
Letusan Gunung Tambora merupakan erupsi terdahsyat yang tercatat dalam sejarah gunung api modern. Jenis letusannya adalah Ultra Plinian. Suara letusan terdengar hingga Bengkulu, Makasar dan Ternate.
Magnitudo letusan Tambora, berdasarkan Volcanic Explosivity Index (VEI), berada pada skala 7 (Kolosal) dari 8, hanya kalah dibanding letusan Gunung Toba (Sumatera Utara), sekitar 74.000 tahun lalu, yang berada pada skala 8 (Super Kolosal).
Dilansir dari Smithsonian, letusan Gunung Tambora selain meledakkan 12 mil kubik gas, debu dan batu ke atmosfer, menyebabkan gempa yang memicu tsunami yang melaju melintasi Laut Jawa.
Letusan Tambora ini sepuluh kali lebih kuat dibanding letusan Gunung Krakatau, yang berjarak 900 mil. Tetapi Krakatau lebih dikenal luas, sebagian karena meledak pada tahun 1883, setelah penemuan telegraf, yang menyebarkan berita dengan cepat.
Total volume material yang dilontarkan ke udara saat Tambora meletus mencapai 100-150 kilometer kubik dengan tinggi payung letusan diperkirakan mencapai 30-40 km di atas gunung api hingga menembus lapisan stratosfer, sedangkan energi letusannya mencapai 1,44 x 10(27) Erg atau setara dengan ledakan 171.500 unit bom atom.
Deposit jatuhan abu yang terekam hingga sejauh 1.300 kilometer dari sumbernya. Material vulkanik yang mengalir ke lautan menyebabkan gelombang tsunami dengan ketinggian 4 meter. Debu letusannya membuat tahun 1816 dilalui tanpa musim panas. Manusia, tanaman dan hewan banyak yang meninggal karena membeku kedinginan. Letusan Tambora menyebabkan terjadinya penyimpangan iklim.
Korban dan Dampak Letusan
Diperkirakan, hampir sekitar 100.000 orang meninggal. Orang-orang tewas mereka yang selamat pun kemudian meninggal karena kelaparan akibat gagal panen.
Jumlah korban tewas akibat letusan gunung tersebut sedikitnya mencapai 71.000 jiwa, dengan 11.000-12.000 di antaranya merupakan korban langsung akibat letusan, terbakar hidup-hidup oleh leleran lava atau tertimpa batu-batu yang terlontar dan sisanya karena bencana kelaparan dan penyakit yang mendera.
Sebagian peneliti memperkirakan jumlah korban mencapai 92.000 jiwa. Jumlah ini belum termasuk kematian yang terjadi di negara-negara lain, termasuk Eropa dan Amerika Serikat, yang didera bencana kelaparan akibat abu vulkanis Tambora yang menyebabkan tahun tanpa musim panas di dua benua itu. Jika kehancuran di sekitar Tambora disebabkan terpaan awan panas, kematian massal berskala global justru disebabkan pendinginan Bumi pasca-letusan. Total penurunan suhu bumi saat itu mencapai 0,4 sampai 0,7 derajat celsius. Dampaknya adalah kegagalan panen global.
Akibat letusan gunung Tambora yang sangat luas, para ilmuwan tertarik untuk menelitinya. Mereka telah mempelajari bagaimana material dari gunung berapi menyelimuti dan mendinginkan bagian-bagian planet ini selama berbulan-bulan, berpengaruh terhadap kegagalan panen dan kelaparan di Amerika Utara dan epidemi di Eropa.
Seorang ilmuwan dan budayawan Amerika Serikat, Gillen D'Arcy Wood, dalam bukunya "Tambora: The Eruption That Changed the World" yang terbit di tahun 2015, menuliskan letusan Tambora memberikan dampak yang menyebar ke seluruh dunia. Dampak yang terasa yakni adanya tiga tahun perubahan iklim. Dunia semakin dingin dan pola cuaca berubah. Perubahan itu menyebabkan kegagalan panen dan kelaparan di wilayah Asia, Amerika Serikat dan Eropa.
Para ahli iklim percaya bahwa letusan Tambora ikut bertanggung jawab atas terjadinya pendinginan suhu secara global di sebagian besar Belahan Bumi Utara pada tahun 1816, yang dikenal sebagai “tahun tanpa musim panas”.
Di Asia, Eropa dan Amerika, lebih dari 200 ribu orang meninggal akibat kelaparan dan penyakit yang dipicu oleh cuaca buruk yang tidak terjelaskan sebab musababnya pada waktu itu.
Menurut catatan sejarah, Napoleon Bonaparte mengalami kekalahan di Waterloo karena terjadinya hujan terus menerus pada bulan Juni 1815 yg diakibatkan oleh letusan Tambora, sehingga menghambat pergerakan artilerinya.
LetusanTambora bahkan mungkin berperan dalam penciptaan salah satu karakter fiksi abad ke-19 yang paling abadi, monster Dr. Frankenstein. Marry Shelley sang penulis novel terkenal tersebut terinspirasi cuaca buruk penuh dengan petir di Vila Diadoti di pinggir Danau Jenewa, Swiss.
Penemuan sepeda juga lahir karena letusan Tambora. Ketika itu, banyak kuda yang mati kedinginan dan kelaparan.
Hari Gunung Api Dunia
Letusan dahsyat Gunung Tambora pada 10 April 1815 yang mempengaruhi cuaca dan kehidupan di dunia telah menginspirasi para pemerhati dan pencinta gunung api mancanegara untuk menjadikan tgl 10 April tersebut sebagai Hari Gunung Api Dunia atau "International Day Of Volcanoes".
____________________________
Sumber : Data Dasar Gunung Api Indonesia 2011; disasterchannel.co; kompas.com; id.wikipedia.org; (diposting oleh Nafia Indyani di grup facebook INDONESIA TEMPO DOELOE).