Sidang Ajudikasi di Bawaslu Dompu, Kamis (1/10/2020)
Dompu, Lensa Pos NTB - Sidang ajudikasi penyelesaian sengketa pemilihan sesuai dengan gugatan Tim Hukum Pasangan H. Syaifurrahman Salman, SE - Ika Rizky Veryani (SUKA) masih berlanjut.
Pada sidang ajudikasi yang berlangsung pada Kamis (1/10/2020), KPU Kabupaten Dompu selaku termohon masih mempertahankan keputusannya nomor 92/HK.03/1-KPT/5205/KPU- Kab/IX/2020 tentang Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Dompu tahun 2020 tanggal 23 September 2020 yang menetapkan Bakal Calon Bupati dan Wakil Bupati Dompu tersebut Tidak Memenuhi Syarat (TMS).
Berikut ini selengkapnya jawaban KPU Dompu yang dibacakan pada sidang hari Kamis (1/10/2020) :
Pokok Permohonan
1. Termohon menolak dengan tegas dalil permohonan Pemohon
seluruhnya kecuali yang diakui secara tegas dan jelas dalam
jawaban ini.
2. Bahwa Termohon telah menyelenggarakan proses pendaftaran calon
sesuai dengan azas-azas sebagai penyelenggara pemilihan dan telah
menempuh tata cara, mekanisme dan prosedur sesuai ketentuan
perundang-undangan sebagai peraturan dasar dalam menggunakan
kewenangan yang diberikan Undang-Undang, yaitu :
2.1. Bahwa pada masa pendaftaran calon sesuai Peraturan KPU
Nomor 5 Tahun 2020, Gabungan Partai Politik Pengusul yaitu
Partai Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, Partai
Demokrat dan Partai Amanat Nasional dengan jumlah kursi
DPRD sebanyak 10 (sepuluh) kursi atau setara dengan 33 %
(tiga puluh tiga persen) dari jumlah kursi anggota DPRD
Kabupaten Dompu, pada hari minggu tanggal 6 September 2020
pukul 15.46 wita, datang mendaftarkan Pemohon yang
didampingi oleh Para Ketua dan Para Sekretaris Partai Pengusul,
yang disaksikan oleh Bawaslu Kabupaten Dompu dengan
terlebih dulu mengisi daftar hadir dalam buku yang sudah
disediakan untuk itu (vide Bukti T-01) dengan menyerahkan
dokumen persyaratan pencalonan dan syarat calon.
2.2. Bahwa setelah dilakukan penelitian kelengkapan dan keabsahan
dokumen persyaratan pencalonan dan kelengkapan persyaratan
calon Pemohon, Termohon menyatakan pendaftaran Pemohon sebagai Bakal Pasangan Calon DITERIMA dengan menggunakan
Berita Acara Pendaftaran dan Model TT.1-KWK, (vide Bukti T-
02).
2.3. Bahwa Kemudian atas dokumen Persyaratan Calon yang telah disampaikan, Termohon melakukan penelitian persyaratan
administrasi terhadap kelengkapan dan keabsahan dokumen,
dan hasil penelitian adminitrasi tersebut dituangkan dalam
Berita Acara Model BA.HP-KWK dan lampirannya, (vide Bukti
T-03).
2.4. Bahwa kemudian, Termohon menyampaikan hasil verifikasi
administrasi tersebut kepada Bakal Pasangan Calon dan Partai
Politik atau Gabungan Partai Politik dalam rapat pleno terbuka
pada tanggal 13 September 2020 (vide Bukti T-04), dengan
meminta kepada Pemohon untuk melengkapi dan/atau
memperbaiki persyaratan yang belum memenuhi syarat pada
saat masa perbaikan yaitu tanggal 14 s.d 16 September 2020.
2.5. Bahwa pada hari rabu tanggal 16 September 2020 pukul 17.00
wita (vide Bukti T-05), Pemohon melakukan perbaikan
terhadap persyaratan calon. Dan Termohon telah mencatat
penerimaan dokumen perbaikan Pemohon tersebut dengan
menggunakan Berita Acara Perbaikan dan Model TT.2-KWK
(vide Bukti T-06).
2.6. Bahwa kemudian Termohon melakukan verifikasi terhadap
dokumen perbaikan persyaratan calon, dan menuangkannya
dalam Model BA.HP Perbaikan-KWK (vide Bukti T-07), dan
telah menyampaikan hasil verifikasi kepada pimpinan Partai
Politik dan Bakal Pasangan Calon (vide Bukti T-08). Termohon
melakukan rapat pleno menetapkan hasil verifikasi persyaratan pencalonan, persyaratan bakal calon, penetapan pasangan calon peserta pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Dompu Tahun 2020 dan menuangkannya dalam Berita Acara No. 61/PL.02-
BA/5205/KPU-KAB/IX/2020 tanggal 23 September 2020 (vide
Bukti T-09), dan berdasarkan Berita Acara penetapan tersebut,
Termohon menetapkan pasangan calon dengan Keputusan KPU
Kabupaten Dompu Nomor : 92/HK.03.1-Kpt/5205/KPUKab/IX/ 2020 tanggal 23 September 2020 tentang Penetapan
Pasangan Calon Peserta Pemilihan Bupati Dan Wakil Bupati
Dompu Tahun 2020 (vide Bukti T-10), dan telah diumumkan
kepada masyarakat (vide Bukti T-11).
3. Bahwa dalam permohonan point IV angka 1.1 s.d. 1.18, 2.1 s.d. 2.4,
3.1 s.d 3.2, 4.1 s.d. 4.6, berkenaan dengan dalil Pemohon yang
mendalilkan bahwa Pemohon keberatan terhadap pemberlakuan
Peraturan KPU No. 3 Tahun 2017 sebagaimana telah diubah ketiga
kalinya dengan Peraturan KPU No. 1 Tahun 2020, setidaknya
sebatas pada pasal 1 angka 21 jo. Pasal 4 ayat (2a), karena menurut
Pemohon ketentuan tersebut bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalil Pemohon tersebut sangat keliru, karena :
3.1. Dalam pasal 9 huruf a Undang-Undang No. 10 Tahun 2016
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UndangUndang, mengatur bahwa “tugas dan wewenang KPU dalam
penyelenggaraan pemilihan meliputi: a. menyusun dan
menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk
setiap tahapan pemilihan setelah berkonsultasi dengan
DPR dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat
yang keputusannya bersifat mengikat”.
3.2. Selanjutnya pasal 45 ayat (3) Undang-Undang No. 10 Tahun
2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UndangUndang, mengatur bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan persyaratan dan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan KPU”.
3.3. Berdasarkan pasal 87 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Perundang-Undangan, mengatur bahwa
“Perundang-Undangan Mulai berlaku dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat pada tanggal diundangkan
kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Perundang-Undangan yang bersangkutan”.
3.4. Berdasarkan ketentuan pasal 81 Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan, bahwa :
a. Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 telah diundangkan pada
tanggal 12 Juni 2017 dalam Berita Negara RI tahun 2017
nomor 826;
b. Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2017 telah diundangkan
pada tanggal 9 November 2017 dalam Berita Negara RI
tahun 2017 nomor 1586;
c. Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2019 telah diundangkan
pada tanggal 3 Desember 2019 dalam Berita Negara RI
tahun 2019 nomor 1536;
d. Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2020 telah diundangkan pada
tanggal 21 Pebruari 2020 dalam Berita Negara RI tahun
2020 nomor 159;
e. Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 telah diundangkan pada
tanggal 1 September 2020 dalam Berita Negara RI tahun
2020 nomor 980.
Sehingga Peraturan KPU yang dipersoalkan oleh
Pemohon dalam Permohonannya sudah merupakan norma hukum positif yang mengikat sejak diundangkannya.
3.5. Kalau Pemohon Keberatan atas pemberlakuan Peraturan KPU
tersebut, maka sesuai sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia menjadi kewenangan lembaga negara lain, bukan
kewenangan KPU Kabupaten Dompu atau Bawaslu Kabupaten
Dompu, sehingga materi yang dipersoalkan Pemohon dalam
perkara in casu harus dilakukan judicial review terlebih dahulu
di Mahkamah Agung atau di Mahkamah Konstitusi, yaitu
berdasarkan ketentuan:
a. Pasal 24 C ayat 1 UUD NRI Tahun 1945, mengatur bahwa
Mahkamah Konstitusi berwenang menguji UU terhadap UUD
RI Tahun 1945.
b. Pasal 24 A ayat 1 UUD NRI Tahun 1945, mengatur bahwa
Mahkamah Agung berwenang menguji Peraturan PerundangUndangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.
c. Pasal 9 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengatur
bahwa :
(1) Dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945, pengujiannya dilakukan
oleh Mahkamah Konstitusi;
(2) Dalam hal suatu peraturan perundang-undangan dibawah
UU diduga bertentangan dengan UU, pengujiannya
dilakukan oleh Mahkamah Agung.
3.6. Termohon dalam menyelenggarakan Pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati Dompu Tahun 2020, maka sesuai tugas dan
kewenangannya dalam mengkoordinasikan, menyelenggarakan
dan mengendalikan semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan
Bupati dan Wakil Bupati Dompu Tahun 2020 telah didasarkan
pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan
berpedoman secara teknis pada Peraturan KPU maupun Azasazas Umum Pemerintahan yang Baik.
4. Dalil pemohon pada point 1.4. yang mengatakan bahwa definisi
mantan Terpidana dalam pasal 1 angka 21 yang dijabarkan kembali
dalam Surat Ketua KPU No. 735/PL.02.2-SD/06/KPU/IX/2020
tanggal 5 September 2020 adalah membuat norma baru yang tidak
ada payung hukumnya.
Dalil Pemohon tersebut sangat tidak berdasar, karena
pengertian Mantan Terpidana yang digunakan dalam Peraturan KPU
tersebut, adalah bersumber pada penjelasan resmi pasal 7 ayat (2)
huruf g Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang, yang menyebutkan bahwa “ yang
dimaksud dengan mantan terpidana adalah orang yang sudah
tidak ada hubungan baik teknis (pidana) maupun administratif
dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum dan hak azasi manusia, kecuali mantan terpidana
bandar narkoba dan terpidana kejahatan seksual terhadap anak.
Dalam tafsiran otentik penjelasan Undang-Undang No. 10
Tahun 2016 tersebut, menggunakan frasa “mantan Terpidana” bukan “Mantan narapidana” sebagaimana yang didalilkan Pemohon.
Dipertegas kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.
56/PUU-XVII/2019 tanggal 11 Desember 2019, yang amarnya secara tegas menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang selengkapnya berbunyi: Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: … g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali
terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang
dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena
pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim
yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati
jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai
menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau
terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai
mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang
berulang-ulang”.
Penggunaan frasa Mantan Terpidana dalam peraturan KPU bukan norma baru tetapi norma yang sudah secara tegas dicantumkan dalam penjelasan pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang No. 10 Tahun 2016, sebagai UU penyelenggaraan Pilkada.
5. Dalil Pemohom pada point 1.11, 1.12, 1.13 dan 1.14. yang
mengatakan bahwa pasal 4 ayat 2a Peraturan KPU No. 1 Tahun
2020 menimbulkan diskriminasi dimana hanya terhadap mantan
narapidana korupsi saja yang diberlakukan, sementara narapidana lainnya tidak diperlakukan sama.
Dalil ini sangat keliru karena Pemohon tidak utuh membaca
ketentuan pasal 4 ayat 2a Peraturan KPU No 1 Tahun 2020, karena dalam ketentuan tersebut tidak ada kata mantan narapidana
korupsi, tetapi berlaku sama untuk semua Mantan Terpidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih yang telah
melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana
penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Demikian juga dengan Surat Ketua KPU No. 735/PL.02.2.SD/06/KPU/IX/2020 tanggal 5 September 2020, tidak
ada ketentuan yang memperlakukan syarat tambahan yang bersifat khusus untuk mantan terpidana korupsi. Dalam Surat Ketua KPU tersebut hanya bersifat penegasan kembali atas norma yang sudah ada dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 dan Peraturan KPU yang sudah ada sebelumnya.
6. Dalil Pemohon pada point 1.15 yang mengatakan bahwa Sikap
Termohon yang telah menyatakan TMS terhadap Pemohon
didasarkan pasal 1 angka 21 Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia Nomor : 1 Tahun 2020, padahal dalam Peraturan KPU No. 9 Tahun 2020 tidak ada frasa “dan sudah tidak memiliki hubungan teknis (pidana) dan administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan HAM”.
Dalil Pemohon tersebut sangat tidak benar, karena ketentuan pasal 1 angka 21 Peraturan KPU No 1 Tahun 2020 tidak dilakukan perubahan pada Peraturan KPU No. 9 Tahun 2020, demikian pula ketentuan pasal 4 ayat (2a) dan ayat (2d). tidak mengalami perubahan apapun.
7. Dalil Pemohon pada point 1.16 dan 1.17 yang mengatakan bahwa
sikap Termohon yang merujuk secara kaku dan tegak lurus pada
Peraturan KPU adalah bentuk kesalahan yang sangat fatal dan
menjadi preseden buruk dalam pesta demokrasi. Dalil Pemohon tersebut sangat keliru karena Termohon harus melaksanakan ketentuan perundang-undangan sesuai dengan bunyi aturannya dan harus dapat memberikan kepastian hukum sesuai dengan maksud ketentuan dasarnya, sehingga Termohon harus tegak lurus dalam menegakan aturan, menegakkan aturan hukum walau langit akan runtuh ( fiat justitia ruat coelum ).
8. Bahwa dalil permohon pada point 1.18 dan 1.19. Pemohon
mengatakan bahwa Pemohon Syaifurrahman Salman saat ini
berstatus mantan Narapidana bukan mantan Terpidana sejak
tanggal 27 Oktober 2014, sehingga menurut Pemohon menghitung
masa bebas atau masa jeda 5 tahun harus dihitung mulai tanggal 24 Oktober 2014 karena tanggal itu telah mendapat pembebasan
bersyarat sehingga statusnya sebagai klien.
Dalil Pemohon tersebut sangat tidak benar dan tidak
beralasan hukum, karena :
8.1. Dari aspek Dasar Hukum
a. Berdasarkan ketentuan pasal 7 ayat (2) huruf g UndangUndang No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang, mengatur bahwa “calon
gubernur dan calon wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon
Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota,
harus memenuhi persyaratan : huruf g). tidak pernah sebagai
terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan
terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan
kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Dalam penjelasan pasal 7 ayat (2) huruf g tersebut,
disebutkan bahwa “ yang dimaksud dengan mantan terpidana
adalah orang yang sudah tidak ada hubungan baik teknis
(pidana) maupun administratif dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak azasi manusia, kecuali mantan terpidana bandar narkoba
dan terpidana kejahatan seksual terhadap anak”.
b. Bahwa Terhadap ketentuan pasal 7 ayat (2) huruf g tersebut,
telah dilakukan Uji Materi di Mahkamah Konstitusi dengan
Putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019 tanggal 11 Desember
2019, yang amarnya menyatakan bahwa “Pasal 7 ayat (2)
huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat
sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu 5 (lima)
tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana
penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga Pasal 7 ayat (2)
huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898)
selengkapnya berbunyi: Calon Gubernur dan Calon Wakil
Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon
Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: …
huruf g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap
terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak
pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang
dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya
karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda
dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan
terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun
setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau
terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya
sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku
kejahatan yang berulang-ulang”.
c. Dalam ketentuan pasal 4 ayat (1) huruf f Peraturan KPU No. 1
Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan KPU
Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pencalonan Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
serta Walikota dan Wakil Walikota, mengatur bahwa “Warga Negara Indonesia dapat menjadi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
huruf f). tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap
terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan atau tindak
pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang
dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya
karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda
dengan rezim yang sedang berkuasa”.
Kemudian dalam pasal 4 ayat (2a), disebutkan bahwa
“Syarat tidak pernah sebagai terpidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf f dikecualikan bagi Mantan
Terpidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun
atau lebih yang telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun
setelah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”.
Kemudian pada ayat (2d) disebutkan bahwa “Jangka
waktu 5 (lima) tahun telah selesai menjalani pidana penjara
sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) terhitung sejak tanggal
bakal calon yang bersangkutan telah selesai menjalani
pidananya sampai dengan pada saat pendaftaran sebagai
bakal calon”.
Kemudian dalam pasal 42 ayat (1) huruf f. disebutkan
bahwa “bagi bakal calon dengan status Mantan Terpidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g dan
ayat (2b), wajib menyerahkan: surat keterangan telah
selesai menjalani pidana penjara dari kepala lembaga
permasyarakatan;
d. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka bagi Calon yang Mantan Terpidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih disyaratkan telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, terhitung sejak tanggal bakal calon
yang bersangkutan telah selesai menjalani pidananya sampai
dengan pada saat pendaftaran sebagai bakal calon. Dengan
melengkapi dokumen surat keterangan telah selesai menjalani
pidana penjara dari kepala lembaga permasyarakatan.
8.2. Berdasarkan Dokumen Putusan Pengadilan yang telah
berkuatan hukum tetap yang diajukan Pemohon, (vide Bukti T-
12) terdapat fakta :
1) Bahwa Syaifurrahman Salman, SE pernah diproses dalam
perkara tindak pidana korupsi di Pengadilan Tipikor pada PN.
Mataram dengan dakwaan:
a. Primair : Melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
b. Subsidair : Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana
Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
2) Atas dakwaan tersebut, Pengadilan Tipikor PN. Mataram
menjatuhkan putusan Nomor 02/PID.SUS/2011/PN.MTR,
tanggal 30 November 2011, dengan amar sebagai berikut :
a. Menyatakan terdakwa A.N. Syaifurrahman Salman, SE
telah terbukti secara syah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara
bersama-sama
b. Menjatuhkan Pidana terhadap diri terdakwa oleh karena
itu dengan pidana penjara selama 4 Tahun 6 Bulan;
3) Kemudian Putusan banding Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Tinggi Mataram Nomor
13/PID.SUS/2011/PT.MTR, tanggal 17 Januari 2012,
dengan amar sebagai berikut :
a. Menyatakan terdakwa Syaifurrahman Salman, SE terbukti
secara syah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama,
sebagaimana dalam dakwaan subsidair.
b. Menjatuhkan Pidana kepada terdakwa oleh karena itu
dengan pidana penjara selama 4 Tahun 6 Bulan.
4) Kemudian Putusan Kasasi di Mahkamah Agung Nomor 660
K/PID.SUS/2012, tanggal 18 April 2012 dengan amar
sebagai berikut
a. Menyatakan terdakwa Syaifurrahman Salman, SE
terbukti secara syah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara
bersama-sama sebagaimana dakwaan primair;
b. Menjatuhkan Pidana oleh karena itu kepada Terdakwa
Syaifurrahman Salman, dengan pidana Penjara 5 Tahun
dan denda sebesar Rp. 200.000.000,- dengan ketentuan
apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan Pidana
kurungan selama 6 bulan.
5) Sedangkan Putusan Peninjauan Kembali di Mahkamah
Agung dengan putusan Nomor 71 PK/PID.SUS/2013,
tanggal 26 Juni 2013, yang amarnya sebagai berikut:
a. Menolak permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon
Peninjau Kembali/terpidana Saifurrahman Salman, SE
tersebut;
b. Menetapkan bahwa putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut tetap berlaku;
Berdasarkan fakta itu, maka Pemohon Syaifurahman
Salman, SE adalah terpidana yang dinyatakan bersalah
melanggar ketentuan pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP, yang ancaman pidananya maksimal adalah 20
tahun penjara. Sehingga Pemohon Syaifurrahman Salman,
termasuk sebagai pihak yang dimaksud dalam ketentuan pasal
7 ayat (2) huruf g Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang Jo. Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 tanggal 11
Desember 2019, jo. pasal 4 ayat (1) huruf f Peraturan KPU No. 1
Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan KPU
Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota
dan Wakil Walikota.
8.3. Berdasarkan Dokumen berupa surat yang dikeluarkan oleh
Kepala LAPAS Klas IIA Mataram Nomor : W21.EM.PK.01.01.02-
1855 tanggal 15 September 2020 yang diajukan Pemohon (vide
Bukti T-13), terdapat fakta bahwa Pemohon Syaifurrahman
Salman, telah menjalani seluruh pidana penjara yang
dijatuhkan sesuai Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap, yaitu Pembebasan bersyarat pada tanggal 27
Oktober 2014 dan bebas akhir pada tanggal 28 Maret 2016, dan
oleh karena Pemohon Syaifurrahman Salman, telah selesai menjalani pidana berdasarkan putusan yang telah berkuatan hukum tetap, maka Pemohon Syaifurrahman Salman disebut sebagai Mantan Terpidana.
Pemohon beranggapan bahwa menghitung masa jeda
waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana, adalah dihitung
sejak Pemohon diberikan hak bebas bersyarat tanggal 27
Oktober 2014 karena saat itu menurut pemohon status
Pemohon Syaifurrahman Salman sebagai Mantan Narapidana
dengan merujuk surat Mahkamah Agung No: 30/Tuaka.Pid/IX/2015 tanggal 16 September 2015.
Padahal dalam Surat Mahkamah Agung tersebut sudah
tegas mengatakan bahwa Mantan Terpidana adalah seorang
yang pernah dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang
berkuatan hukum tetap, sehingga Mantan Terpidana meskipun
telah dijatuhi pidana belum tentu menjalani pidana dalam
LAPAS.
Pemohon Syaifurrahman Salman adalah Terpidana yang
dijatuhi hukuman pidana selama 5 tahun. Pidana 5 tahun
tersebut dijalani oleh Pemohon Syaifurrahman Salman dalam
LAPAS Klas IIA Mataram sampai tanggal 27 Oktober 2014,
karena mendapat pembebasan bersyarat maka sisa
hukumannya dijalani diluar LAPAS sampai bebas Akhir tanggal
28 Maret 2016.
Berdasarkan surat Mahkamah Agung tersebut, menjadi
jelas bahwa Pemohon Saifurrahman Salman menjadi mantan terpidana sejak tanggal 29 Maret 2016, karena pada tanggal
28 Maret 2016 telah selesai menjalani masa hukuman pidana 5
tahun.
8.4. Bahwa untuk memenuhi persyaratan sesuai ketentuan pasal 4 ayat (2a) Peraturan KPU No. 1 Tahun 2020, berkaitan dengan
syarat tidak pernah sebagai terpidana yang dikecualikan bagi
Mantan Terpidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih yang telah melewati jangka waktu 5 (lima)
tahun setelah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, maka Pemohon Syaifurahman Salman telah mengajukan dokumen berupa yaitu :
a. Pada tahap awal, mengajukan dokumen Surat Keterangan
tanpa nomor dari LAPAS Klas IIA Mataram yang
ditandatangani an. Ka Lapas oleh Muh. Saleh, SH. yang menerangkan bahwa Syaifurahman Salman
pernah menjalani pidana di Lapas Klas IIA Mataram, lama pidana 5
tahun dengan perkara korupsi dan berakhir masa pidananya
pada tanggal 27 Oktober 2014, (vide Bukti T-14).
Berkaitan dengan dokumen tersebut, Termohon
mendapat surat Tanggapan Masyarakat yang intinya
menerangkan bahwa Syaifurrahman Salman merupakan
mantan terpidana dengan hukuman 5 tahun dan masa bebas akhir pada tanggal 28 Maret 2016.
Sesuai dengan ketentuan pasal 53 Peraturan KPU No. 3 Tahun 2017, Termohon melakukan klarifikasi atas kebenaran tanggapan masyarakat tersebut di Lapas Klas IIA Mataram pada tanggal 10 September 2020, dan hasil
klarifikasi tersebut dituangkan dalam berita acara (vide
Bukti T-15), bahwa Termohon mendapatkan fakta, bahwa
Pemohon Syaifurrahman Salman mulai ditahan tanggal 13
Mei 2011 dan bebas tanggal 28 Maret 2016. Untuk itu
Termohon meminta kepada Pemohon untuk melakukan
perbaikan atas dokumen yang telah diserahkan pada masa perbaikan.
b. Pada tahap perbaikan, Pemohon mengajukan dokumen
berupa Surat Kepala LAPAS Klas IIA Mataram No. W21.EM.PK.01.01.02-1855 tanggal 15 September 2020 (vide Bukti T-13) yang intinya menerangkan bahwa Pemohon
Syaifurrahman Salman pertama kali ditahan 13 Mei 2011
dalam perkara pidana No. 660 K/Pid.Sus/2012 melanggar
pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dengan hukuman 5 tahun, tanggal pembebasan bersyarat 27 Oktober 2014 dan tanggal bebas akhir 28 Maret 2016.
8.5. Bahwa berdasarkan dokumen pemenuhan syarat sebagai
mantan terpidana (vide Bukti T-13) tersebut, Termohon telah
mempertimbangkan berbagai dasar hukum, sebagai berikut:
a. Ketentuan Penjelasan pasal 7 ayat (2) huruf g UndangUndang No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang, bahwa “ yang dimaksud
dengan mantan terpidana adalah orang yang sudah tidak ada hubungan baik teknis (pidana) maupun administratif dengan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak azasi manusia, kecuali mantan terpidana bandar narkoba dan terpidana kejahatan seksual terhadap anak”.
b. Ketentuan pasal 1 angka 21 Peraturan KPU Nomor 1 Tahun
2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, menyebutkan
bahwa “Mantan Terpidana adalah orang yang sudah selesai
menjalani pidana, dan tidak ada hubungan secara teknis
(pidana) dan administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia”.
c. Ketentuan pasal 6 ayat (3) huruf a dan huruf b UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan,
mengatur bahwa “Pembimbingan oleh BAPAS dilakukan terhadap Terpidana Bersyarat dan Narapidana yang mendapat Pembebasan Bersyarat atau Cuti menjelang bebas’.
d. Ketentuan Pasal 1 ayat (7) Peraturan Pemerintah No. 99
Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Pemerintah No. 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan,
bahwa pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan di
luar lapas setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 masa
pidananya minimal 9 bulan.
e. Ketentuan Pasal 44 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 99
Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Pemerintah No. 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, bahwa pembebasan bersyarat dapat dicabut atas usul Kepala
BAPAS dalam hal melanggar ketentuan mengenai pembebasan
bersyarat.
Ketentuan Pasal 16 ayat (2) Peraturan MenKumHam RI No.
M2.PK.04-10 Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cata
Pelaksanaan Assimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat,
mengatur bahwa “pembimbingan terhadap narapidana yang
sedang menjalani pembebasan bersyarat dilaksanakan oleh BAPAS ”. Sehingga dalam Pembebasan bersyarat, RUTAN akan
menyerahkan Narapidana yang menjalani pembebasan bersyarat kepada Kejaksaan Negeri setempat dan BAPAS. Kemudian BAPAS yang membimbing, mengawasi warga
binaan pemasyarakatan yang memperoleh assimilasi atau
integrasi sosial (pembinaan luar lembaga) baik cuti
mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat dan cuti
bersyarat.
g. Kemudian dalam ketentuan Pasal 1 ayat (5) Peraturan
MenKumHam RI No. M2.PK.04-10 Tahun 2007 Tentang
Syarat dan Tata Cata Pelaksanaan Assimilasi, Pembebasan
Bersyarat, Cuti Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti
Bersyarat, menyebutkan bahwa
“Warga Binaan pemasyarakatan adalah terdiri dari Narapidana, anak didik pemasyarakatan dan Klien pemasyarakatan. Sedangkan pada
Ayat (9) bahwa klien pemasyarakatan adalah seorang yang nerada dalam bimbingan BAPAS.
h. Kemudian dalam ketentuan Pasal 26 ayat (4) a Peraturan
MenKumHam RI No. M2.PK.04-10 Tahun 2007 Tentang
Syarat dan Tata Cata Pelaksanaan Assimilasi, Pembebasan
Bersyarat, Cuti Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti
Bersyarat, mengatur bahwa “selama dalam bimbingan
BAPAS diluar LAPAS atau RUTAN dihitung sebagai menjalani masa pidana”.
i. Memperhatikan ketentuan tersebut, maka :
1) Klien Pemasyarakatan yang masih berada dalam
bimbingan BAPAS adalah seorang yang masih berstatus
sebagai Terpidana, sehingga belum dapat dikategorikan
sebagai mantan terpidana.
2) Selama Terpidana menjalani pembebasan bersyarat, maka
masih mempunyai hubungan baik teknis (pidana)
maupun administratif dengan KemenKumHam.
3) Klien Pemasyarakatan yang sedang menjalani
Pembebasan Bersyarat, sesungguhnya sedang menjalani
pembinaan narapidana diluar LAPAS atau sedang
menjalani sisa waktu hukuman penjara di luar LAPAS.
Terpidana baru dikatakan telah selesai menjalani pidana,
jika lamanya hukuman yang dijatuhkan sesuai putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap telah
dijalani semua, termasuk adanya pengurangan karena
adanya remisi, sedangkan pembebasan bersyarat tidak
termasuk pengurang lamanya hukuman pidana yang
dijatuhkan.
j. Memperhatikan dokumen yang diajukan oleh Pemohon pada
masa perbaikan berupa Surat Kepala LAPAS Klas IIA
Mataram No. W21.EM.PK.01.01.02-1855 tanggal 15
September 2020 (vide Bukti T-13) terdapat fakta bahwa:
1) Pemohon Syaifurrahman Salman adalah Mantan Terpidana
yang dijatuhi pidana penjara selama 5 (lima) tahun;
2) Pertama kali ditahan 13 Mei 2011;
3) Mendapat remisi selama 7 bulan sebagai pengurang
lamanya hukuman;
4) Pernah dibantarkan karena sakit oleh Penuntut Umum,
oleh Pengadilan Tipikor, dan oleh Pengadilan Tinggi,
sehingga tidak dihitung menjalani pidana;
5) Pernah dialihkan dalam tahanan kota, sehingga 5 hari
dalam tahanan kota dihitung 1 hari menjalani pidana;
6) Pembebasan bersyarat pada tanggal 27 Oktober 2014;
7) Setelah dihitung lama hukuman 5 tahun penjara,
dikurangi remisi dan tidak dihitung selama pembantaran
dan dikurangi 1/5 selama tahanan kota, sehingga setelah
dihitung dalam database oleh LAPAS Kelas IIA Mataram,
maka Pemohon Syaifurrahman Salman baru bebas akhir
pada tanggal 28 Maret 2016, sehingga berdasarkan
ketentuan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka
Saifurrahman Salman baru selesai menjalani hukuman
pidana penjara adalah pada tanggal 28 Maret 2016.
8.6. Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat (2a) Peraturan KPU
No. 1 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan
KPU Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pencalonan Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta
Walikota dan Wakil Walikota, bahwa “Syarat tidak pernah
sebagai terpidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f
dikecualikan bagi Mantan Terpidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih yang telah melewati
jangka waktu 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana
penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap”.
Kemudian pada ayat (2d) disebutkan bahwa “Jangka
waktu 5 (lima) tahun telah selesai menjalani pidana penjara
sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) terhitung sejak tanggal
bakal calon yang bersangkutan telah selesai menjalani
pidananya sampai dengan pada saat pendaftaran sebagai bakal
calon Berdasarkan
dasar hukum
tersebut, maka Pemohon
Syaifurahman Salman baru memenuhi syarat jangka waktu 5
tahun telah selesai menjalani pidana penjara adalah pada 28
Maret 2021. Sedangkan Pendaftaran Calon dalam Pemilihan
Bupati dan Wakil Bupati Dompu Tahun 2020 adalah 4 s.d. 6
September 2020, sehingga Pemohon disimpulkan Tidak
Memenuhi Syarat.
III. PETITUM
Dengan berdasarkan uraian jawaban di atas, maka mohon
kepada Bawaslu Kabupaten Dompu untuk menjatuhkan putusan
sebagai berikut :
1. Menerima jawaban Termohon seluruhnya;
2. Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
3. Menyatakan Berita Acara Hasil Penelitian Perbaikan Persyaratan
Calon dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Dompu Tahun
2020 tanggal 22 September 2020 dan Keputusan KPU Kabupaten
Dompu Nomor: 92/HK.03.1-Kpt/5205/KPU-Kab/ IX/2020 tentang
Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Dompu Tahun 2020 tanggal 23 September 2020 adalah sah.
Demikian jawaban Termohon ini Kami buat, kiranya Bawaslu
Kabupaten Dompu dapat segera memeriksa dan memutus permohonan
sengketa ini berdasarkan ketentuan yang berlaku. (AMIN).