koranlensapos.com - Ismail dalam hatinya berjanji akan selalu berbuat yang terbaik agar kelak menjadi kebanggaan bagi keluarganya yang dicintainya. Ia sadar meraih kesuksesan dan keberhasilan membutuhkan proses dan perjuangan yang pantang menyerah berjuang melawan kerasnya gelombang kehidupan.
Setapak demi setapak ia mulai membuktikan tekadnya itu. Saat masih di tingkat SD, ia berusaha meningkatkan prestasinya. Ia belajar dengan sungguh-sungguh untuk menggapai impiannya.
Walhasil berkat kesungguhan hatinya, ia mendapatkan peringkat tiga, kemudian meningkat lagi menjadi juara dua hingga meraih juara satu di sekolahnya di SDN 14 Dompu. Prestasi itu pula yang mengantarkannya bisa masuk di SMPN 1 Dompu, SMP terfavorit yang ada di Kabupaten Dompu. Dia adalah salah satu dari 3 orang dari SD-nya yang mampu masuk di sekolah bergengsi tempat anak-anak orang kaya dan pejabat tersebut bersekolah.
Lahir dan besar dari keluarga miskin, mendidik Ismail kecil untuk mandiri membiayai seluruh kebutuhan sekolahnya. Sejak duduk di bangku SD kelas 5, ia sudah mulai mengurus kuda dan menjadi seorang Kusir benhur menggantikan ayahnya yang sering sakit-sakitan. Bekerja sebagai seorang kusir benhur ia lanjutkan ketika duduk di bangku SMP. Hasilnya ia gunakan untuk membiayai kebutuhan sekolah dan sedikit membantu kebutuhan harian keluarganya. Pagi hari, ia gunakan untuk belajar di sekolah, sedangkan siangnya ia gunakan untuk menjalankan Benhurnya untuk mencari sedikit rupiah. Di perjalanan balik ke rumah, tak lupa ia mampir di persawahan orang untuk mengambil rumput kudanya. Seperti itulah hari-hari yang ia lewati semasa ia duduk di bangku SMP.
Terkadang teman-teman sekolahnya mengejek dengan sebutan Ma'i Me'e (Ismail hitam). Iya benar, kulit Ismail memang hitam dan dekil, dikarenakan setiap hari ia harus berada di bawah terik sinar matahari untuk mengambil rumput kudanya.
Tetapi ia tidak sakit hati. Semua celaan dan ejekan teman-temannya tidak ia hiraukan, bahkan ia jadikan sebagai penyemangat untuknya belajar giat dan membuktikan kepada mereka, bahwa ia mampu bersaing bahkan mengalahkan mereka dalam peringkat akademik. Itu ia buktikan dengan selalu masuk di depan untuk menerima penghargaan sebagai siswa yang mendapatkan peringkat 3, 2, atau 1 di hadapan seluruh guru-guru dan para pelajar pada acara pembagian raport di setiap semesternya. Si Kusir benhur hitam, Ismail berhasil membuktikan kepada teman-temannya bahwa kondisi ekonomi dan fisik tidak berpengaruh pada kecerdasan dan prestasi seseorang.
Setelah Lulus SMP, Ismail memilih melanjutkan sekolahnya di salah satu SMA terbelakang di Kabupaten Dompu, yaitu SMA PGRI Dompu. Alasannya sederhana, sekolah tersebut berada dekat dengan rumahnya dan gratis pula, sehingga ia tidak mengeluarkan uang untuk pembiayaan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) maupun untuk biaya transportasi. Ia bisa berjalan kaki untuk pergi ke sekolah. Perhitungan ekonomi seperti inipun harus ia lakukan, mengingat ia bukanlah seorang yang berada dari segi finansial, melainkan ia hanyalah seorang anak yatim yang berasal dari keluarga miskin, serta memiliki tekad kuat untuk mengubah hidupnya melalui dunia pendidikan.
Walaupun SMA PGRI kerap dianggap sekolah buangan karena yang menempuh studi.di sekolah ini adalah anak-anak yang tidak lolos dalam pendaftaran di sekolah negeri, tetapi Ismail tidak menghiraukan masalah tersebut. Ia meyakini sekolah bukanlah faktor utama yang menentukan kesuksesan seseorang. Menurutnya tekad dan semangat yang tinggi untuk belajarlah yang akan mengantarkan seseorang menggapai kesuksesan.
Beberapa bulan sebelum lulus SMA, ia mencoba keberuntungannya untuk belajar bahasa Inggris di salah satu tempat kursus bahasa inggris non-formal, bernama Dompu English Club (DEC) yang kemudian sebagian besar anggotanya membangun Yayasan Pendidikan dan Sosial Kemanusiaan (We SAVE) yang dipelopori langsung oleh sang guru, Agus Setiawan.
Bimbingan langsung dari sang guru muda Agus Setiawan membangkitkan semangatnya. Hasratnya semakin kuat untuk menggapai impiannya. Ia ingin meraih apa yang sudah diamanahkan oleh bapak dan kakaknya untuk melanjutkan sekolah setinggi-tingginya walaupun dalam keterbatasan ekonomi.
Pada tahun 2012, si anak Kusir Benhur ini lulus dari SMA. Besar niat dan keinginannya untuk melanjutkan study di universitas-universitas terbaik yang ada di Indonesia. Bahkan ia nekad ingin pergi merantau ke kota Jakarta mencari pekerjaan sembari berkuliah di ibu kota Indonesia tersebut.
Tetapi ia harus mengurungkan niatnya tersebut. Karena dalam waktu bersamaan, kedua kakak laki-lakinya yang selama ini menjadi tulang punggung keluarganya, Syarifuddin dan Rifa’id melepas masa lajang mereka. Tidak ada lagi orang yang bisa diandalkan untuk bekerja memenuhi kebutuhan sehari-hari selain dirinya.
Dengan sabar dan mengharap keberkahan dari Allah SWT, Ismail memilih untuk berkhidmat dan menjadi tulang punggung keluarga, menggantikan ayah yang sudah tidak mampu lagi untuk bekerja. Mulai saat itu, seluruh beban keluarganya dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari diembankan sepenuhnya kepada anak muda yang baru lulus SMA itu.
Berbagai pekerjaan ia lakoni asalkan halal. Ia pernah menjadi buruh bangunan, buruh tani, buruh penggilingan padi, tukang ojek dan pekerjaan-pekerjaan serabutan lainnya. Ia rela bekerja bercucuran keringat di bawah teriknya sinar matahari hanya untuk mendapatkan sesuap nasi untuk ayah dan saudara-saudaranya di rumah.
Mengingat masih besar keinginannya untuk berkuliah, ia tak lupa menyisihkan sedikit rupiah dari sisa pembelian kebutuhan dapur. Diam-diam ia menabung. Menyisihkan sedikit rezekinya. Ia ingin kuliah di kampus yang tak jauh dari rumahnya yakni Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) YAPIS Dompu. Pupus sudah kenginannya untuk berkuliah di luar daerah. Sebagai tulang punggung keluarga, ia tidak boleh pergi jauh.
Tepat pada pertengahan tahun 2013, ia memberanikan diri untuk mendaftar kuliahnya dengan bermodalkan uang hasil dari tabungannya selama satu tahun sebesar Rp. 1.800.000. Sedangkan keselurahan biaya masuk kuliah di STKIP YAPIS Dompu pada saat itu senilai Rp. 3.500.000.
Dengan hati yang penuh was-was, ia mencoba menemui Pemilik Kampus, Nadirah SE, Akt untuk meminta kelonggaran waktu dalam pembiayaan sisa uang pendaftaran kampus tersebut. Dengan kemudahan dari sang Pemberi Kemudahan, ALLAH SWT, akhirnya sang ibu kampus menerima permintaan tersebut. Ismail diperkenankan untuk mulai menimba ilmu di STKIP YAPIS Dompu.
Tidak butuh waktu lama bagi Ismail untuk membuktikan kesungguhannya dalam belajar kepada orang-orang terdekatnya lebih khususnya kepada sang motivatornya, ayah. Tidak lebih dari satu tahun lamanya ia berada di STKIP YAPIS Dompu, ia berhasil membawa nama baik kampusnya dengan menjadi Runner-up dalam English Debating Competition 2014 yang diadakan oleh STIKES YARSI kota Mataram. Lomba tersebut diikuti oleh seluruh kampus yang ada di NTB.
Setelah mendapatkan Runner-Up dari kompetisi bergengsi tersebut, pada tahun yang sama, berkat ketekunannya mengabdi dan bekerja sosial di Yayasan We SAVE Dompu, ia dipercaya langsung oleh sang guru Agus Setiawan untuk berkunjung dan melakukan study banding di negeri Jiran Malaysia selama satu bulan.
Berkat prestasi yang diraihnya tersebut, Ismail mendapatkan beasiswa, gratis biaya kuliah selama 6 semester dari kampus STKIP YAPIS Dompu, karena sudah mengharumkan nama baik kampusnya di tingkat provinsi dan internasional. Sesaat setelah mendapatkan kabar gembira tersebut, ia bersujud syukur kepada Sang Maha Kuasa, ALLAH SWT yang telah memberikan kemudahan kepadanya dalam proses pendidikan yang ia jalani. (Bersambung)
!