Kejora Paramitha
Dompu, Lensa Pos NTB - Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) Ampang Riwo, Toffo Pajo Soromandi maupun Tambora yang wilayahnya berada dalam wilayah administratif Kabupaten Dompu dinilai tidak tegas dalam melaksanakan tugas pencegahan terhadap aksi pengrusakan hutan yang dilakukan oleh oknum masyarakat.
Demikian sorotan Bidje dari Komunitas Rumah Kejora Kabupaten Dompu dalam acara Diskusi tentang kerusakan hutan bertajuk Pohon Terakhir yang digelar di Kedai Sruput Indonesia Simpasai Dompu, Minggu malam (25/10/2020).
Ia juga menilai petugas dari BKPH lemah dalam melakukan pengawasan terhadap kawasan hutan.
"Andai saja BKPH tegas, akan banyak pelaku perusak hutan yang ditangkap dan kerusakan hutan di Dompu tidak akan separah ini," sorotnya.
Menurutnya BKPH Provinsi NTB yang diserahi tugas dan kewenangan oleh pemerintah pusat dalam pengawasan hutan harus tegas di dalam menegakkan aturan. Masyarakat juga harus dibangun kesadarannya untuk mentaati aturan itu. Bila ada yang melanggar, maka aturan harus ditegakkan pula tanpa pandang bulu.
Lebih lanjut ia menjelaskan ada 5 (lima) hal terkait kerusakan hutan di Dompu. Kelima hal itu ia rangkum dalam kata TENSI yaitu singkatan dari Terlena, Ego, Niat, Sengaja dan Imbas.
Dikemukakannya 80% masyarakat Dompu terlena dengan hasil pendapatan jagung tetapi mengabaikan kelestarian lingkungan. Kawasan hutan lindung sekalipun dijarah oleh oknum masyarakat akibat keserakahan agar mendapatkan hasil yang lebih banyak lagi.
Ia menyebut sikap egois dari sebagian oknum anggota masyarakat memperparah kerusakan hutan ini. Sifat ego ini menyebabkan seseorang merasa diri benar sehingga enggan menerima arahan maupun penyuluhan untuk menjaga kelestarian hutan.
Sifat ego ini selanjnya melahirkan niat dan sengaja untuk melakukan penebangan hutan secara massif. Dari tahun ke tahun semakin diperluas. Akibatnya kerusakan hutan semakin bertambah di berbagai kawasan. Gunung-gunung yang beberapa tahun silam masih lebat dengan pepohonan hutan. Sedikit demi sedikit dibabat oleh oknum masyarakat mulai dari bawah. Tahun selanjutnya ditambah lagi sehingga sampai dipuncaknya tidak menyisakan satu pohon pun.
"Kone pundu na wati ra wara na wa'ura ndadi raja kola," ujarnya dengan bahasa daerah yang mengandung arti tidak ada lagi satu pohon pun yang disisakan semua sudah digunduli. Ibarat kepala manusia sudah plontos tidak ada lagi rambut yang tersisa.
Ia juga mencurigai hutan kerap dijadikan alat politisasi guna menggaet dukungan publik di level mana pun.
Aktivis yang memiliki akun facebook Kejora Paramitha ini menerangkan kerusakan hutan berimbas pada berbagai dampak. Di antaranya adalah
banjir yang membawa korban harta benda bahkan bisa merenggut jiwa. Banjir juga membawa lumpur yang menimbulkan sedimentasi dan akhirnya berimbas pada pendangkalan sungai maupun laut.
Kerusakan hutan juga berdampak langsung pada kekeringan.
"Imbas dari kerusakan hutan ini sudah sama-sama kita lihat dengan mata kepala.sendiri," pungkasnya. (AMIN).