Semburan mentari pagi menyapa semesta. Perempuan itu duduk memandangi tenangnya laut di teluk Cempi. Di bawah pohon rindang dengan gubuk-gubuk sederhana mengitarinya. Di pesisir yang kurang satu kilometer dari perkampungan warga. Perahu yang ditambatkan bergoyang mengikuti irama ombak yang menghempas. Ada pula beberapa perahu di sepanjang pesisir pantai dengan tali panjang yang diikatkan di salah satu pohon.
Di mtemani kopi shacet yang disimpannya di papan sebagai meja, ia sesekali melepas pandang pada luasnya lautan. Bersama para penghuni gubuk yang lain, ia membersamai hari di pesisir ini. Mengambil rumput laut, lalu dijualnya ke pengepul. Menjaring ikan lalu dijualnya ke Desa Jala, sebuah kampung terdekat yang sebagian masyarakatnya juga mencari nafkah dengan menjadi nelayan.
Saat aku datang mendekati, ia tersenyum sumringah. Tak ada kecurigaan di raut wajahnya. Ia orang darat yang memilih menjadi orang laut. Menjadikan laut sebagai mata pencahariannya. Dia belajar berkarib dengan laut yang sudah sekian tahun memberinya kehidupan. Ekonomi keluarga berjalan stabil walau risiko sewaktu-waktu bisa menghampirinya jika sedang berada di lautan.
Namanya Jubaidah. Umurnya sudah 40 tahun. Ia tinggal di Desa Daha, Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu - NTB. Sudah enam tahun tinggal di pesisir pantai ini yang umumnya masyarakat kenal dengan sebutan Soro Ta'a. Sebuah wilayah pesisir di mana dirinya dan puluhan kepala keluarga mengadu nasib pada laut. Tinggal berdekatan membuat dirinya dengan warga lain serupa satu rumpun keluarga besar. Benar saja mereka memiliki hubungan darah jika dirunut satu persatu silsilah di antara mereka.
Teluk Cempi serupa ibu bagi puluhan warga di Soro Ta'a ini. Mereka memandang laut serupa tanah gembur yang menumbuhkan benih-benih pengharapan akan kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Mengambil isi di dalamnya dengan cara tradisional tanpa harus merusak habitat laut. Melepas jaring untuk menangkap ikan dan lobster. Mengambil rumput laut dengan tangan kosong tanpa bantuan alat-alat canggih. Jika perahu sudah penuh langsung putar haluan. Menepi di pantai, lalu memikulnya untuk dijemur di atas hamparan pasir putih yang memanjang.
Jika ombak datang mengamuk, angin kencang menghempas, hujan konsisten datang membasahi bumi. Di saat tidak memungkinkan untuk kembali ke laut. Di saat itulah dirinya kembali memilih menjadi orang agraris. Kembali menjadi petani. Menanam tanaman musiman seperti padi, jagung dan kacang. Menggarap sawah dengan harapan hasilnya melimpah.
Namun saat ini laut masih cukup bersahabat. Cuaca masih memberi harapan untuk kembali melaut. Dua bulan yang lalu ia sudah menghasilkan jutaan rupiah dari kerja kerasnya mengambil rumput laut di tengah lautan. Cincin dan gelang emas yang dikenakannya adalah buah dari hasil kerjanya. Laut sangat menjanjikan perbaikan ekonomi. Menjadikan kehidupan yang bisa merangkak lebih baik dari sebelumnya.
Hidup di gubuk yang jauh dari kata layak. Tidak ada aliran listrik. Air bersih diambil dari sumber-sumber rawa terdekat. Hidup berhimpitan dengan gubuk yang tidak seberapa besar. Tapi tak membuatnya berkecil hati. Tak ada alasan untuk mengeluh. Yang terpenting baginya pekerjaan yang kini dilakoninya memiliki penghasilan dan memberi kehidupan pada keluarganya.
"Ini merupakan salah satu sumber penghasilan saya" ucapnya datar.
Tak soal dirinya perempuan. Toh apa yang dilakukan laki-laki bisa pula dikerjakannya. Mendayung. Memikul. Bahkan berlayar di kejauhan laut tak membuat dirinya merasa was-was dan memendam khawatiran yang berlebihan. Pasalnya, saat di laut dirinya tidak sendiri. Ada banyak nelayan yang bisa disapa. Bahkan di antaranya tidak jarang memberinya bantuan kala diminta pertolongan.
Laut serupa terminal di mana para nelayan bisa bertegur sapa. Jika pun ada bahaya yang mengancam, semua seolah terpanggil untuk mengulurkan bantuan. Disadarinya cuaca dan bahaya tidak bisa diprediksi datangnya. Tapi jika terlalu memikirkan bahaya, maka tidak satu pun yang berani melaut. Namun pengalaman telah menjadi guru terhebat dalam mendidik. Mengajari segala kemungkinan terburuk yang datang tanpa kabar sekali pun. Semua orang memiliki tanggungan nasib masing-masing.
"Kalau itu tidak terlalu dipikirkan. Semua orang bisa celaka di mana pun ia berada" ujarnya penuh keyakinan sembari sesekali menyeruput kopi yang mulai tandas.
Cerita nelayan yang pernah tenggelam di lautan tidak pernah membuat nyali Jubaidah ciut. Tidak sedikit pun keyakinannya menjadi gentar dalam menghadapi segala risiko yang menghunjam jika itu terjadi. Pengalaman dan pembacaan terhadap tanda-tanda alam menjadi modal besar baginya sebelum mengarungi lautan. Tidak jarang dirinya bersama suami tercinta. Saling menguatkan satu sama lain jika sesuatu yang terburuk terjadi.
Tapi dirinya bersyukur selama ini belum pernah terjadi sesuatu yang membahayakan nyawanya. Semua masih berjalan seperti biasa. Melaut jika air tenang dan memutuskan berhenti jika laut kurang bersahabat. Dan bagi Jubaidah ada banyak yang bisa ia lakukan dari hasilnya melaut. Rumah batu dibangun, biaya sekolah anak, beberapa sawah dapat digadaikan serta untuk biaya kehidupan sehari-hari masih sangat cukup.
Sebagai perempuan, dirinya tidak pernah menuntut banyak hal pada suaminya. Ia tak pernah mempertanyakan bahwa kerja-kerja berat mestinya harus dilakoni oleh suaminya saja. Baginya suami adalah partner. Saling melengkapi dan mendukung demi ekonomi keluarga. Lagi pula tidak hanya dirinya yang melakoni profesi ini. Ada beberapa perempuan meretas jalan yang sama. Menjadi nelayan yang hanya dikenal melekat pada kaum Adam, namun di pesisir Soro Ta'a nampaknya tidak berlaku.
Persepsi publik bahwa hanya laki-laki saja yang melaut dan menangkap ikan di ruang samudra, nampaknya perlu dikoreksi kembali. Konsep itu tidak bisa menjustifikasi pada semua masyarakat pesisir. Karena ada sekelebat kenyataan seperti di Soro Ta'a ini bahwa perempuan juga bisa menjadi nelayan.
Dalam satu publikasi tentang perempuan yang dikeluarkan oleh institut Kapal Perempuan NTB (2016) dengan gamblang menerangkan tentang penguatan dan kapasitas serta kepemimpinan perempuan di komunitas telah mengubah kehidupan perempuan dan komunitasnya.
Lebih terang dijelaskan bahwa peran perempuan tidak saja mengentaskan kemiskinan tetapi juga mengubah cara pandang masyarakat tentang perempuan, kesetaraan gender dan pandangan bahwa nelayan, petani dan kepala keluarga yang selama ini dilekatkan pada laki-laki telah berubah. Bahkan pemerintah daerah telah mengakui bahwa nelayan bukan hanya laki-laki, juga perempuan sehingga mereka berhak mendapat bantuan program yang selama ini diberikan kepada laki-laki.
Perempuan seperti Jubaidah merupakan satu di antara perempuan yang memiliki peran strategis dalam keluarganya. Perempuan seperti dirinya tidak mempersoalkan tentang pemetaan peran laki-laki dan perempuan sebagaimana yang diperjuangkan oleh sebagian kaum feminisme. Tetapi sepanjang mereka bisa melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan laki-laki, sepanjang itu pula dilakukannya.
Pengalaman dalam melayari ruang samudra, mengajari perempuan hebat seperti Jubaidah matang dalam menantang nasib. Merubahnya dengan tindakan nyata. Merubah stereotipe banyak orang yang sudah terlanjur dilekatkan bahwa perempuan hanya bisa di kasur, di sumur dan di dapur. Sementara pada kenyataannya mereka melakukan sesuatu melampaui kapasitasnya sebagai perempuan.
Ketika aku bertanya kepadanya tentang pekerjaan yang sedang dilakoninya, Jubaidah hanya tersenyum lebar. Baginya, sepanjang itu bisa dilakukan kenapa harus mempersoalkan apakah itu tugas perempuan atau hanya khusus dilakukan oleh laki-laki. Yang terpenting menurutnya, suami dan istri harus saling mengerti dan menopang satu sama lain, terlebih ketika sudah memiliki anak sebagai tanggung jawab dalam rumah tangga.
Semua harus memiliki tanggung jawab yang sama. Membedakan tanggung jawab di luar kodrat tidak lantas menjadi penting jika bisa membawa kebahagiaan bersama. Kebahagiaan tidak bisa hanya terjebak pada definisi-definisi akademisi, tetapi kebahagiaan akan melekat pada hati-hati yang pandai mensyukuri kehidupan yang dijalaninya.
Dan Jubaibadah telah membuktikannya. Pada dirinya ada embun-embun inspirasi yang dapat menggugah hati pada banyak insan di luar sana, karena tidak lama lagi dirinya akan merajut harapan pada luasnya lautan. Aku akan memandangnya dari kejauhan saat perahunya mulai menerjang ombak. Ia dengan penuh cekatan mendayung sebelum mesin di buritan perahu di mhidupkan.
Berselang waktu ia menghilang dari pandangan. Ia pergi merajut harapan dengan mendayung perahu di luasnya samudra. Adakah esok ia akan kembali menepi di pesisir pantai dengan perahunya dan membawa pulang sesuatu yang ia cari?. Kepada semesta aku bermunajat, agar ia tetap di sini. Karena aku belum siap sendiri tanpa dirinya. Di sini aku menaruh harap di ketinggian doa pada pemilik semesta. (raden).