Koranlensapos.com - Desakan agar Hari Jadi Kabupaten Dompu yang ditetapkan 11 April 1815 bersamaan dengan peristiwa letusan dahsyat Gunung Tambora untuk ditinjau kembali lagi-lagi mencuat ke permukaan. Salah satu tokoh muda pendiri Majelis Sakaka Dana Dompu (Makkadana) mempersoalkan usia Kabupaten Dompu yang masih terlampau belia. Berdasarkan hitungan 11 April 1815, maka usia Dompu baru 210 tahun.
"Usia Dompu seharusnya bukan 210 tahun lalu, yang notabene merupakan meletusnya Tambora, dan diklaim lahirnya Dompu Baru. Sementara kita ketahui bersama, Kesultanan Dompu merupakan Kesultanan tertua di Pulau Sumbawa," bebernya.
Sosok muda nan santun ini tidak asbun alias asal bunyi. Ada beragam sumber yang dijadikan referensi. Karena itu, dirinya mendesak Pemerintah Daerah Kabupate Dompu dan berbagai elemen terkait untuk meninjau kembali.
"Berdasarkan beberapa sumber referensi primer dan sekunder, Kesultanan Dompu berdiri pada 8 Rajab 952 Hijriah atau bulan September tahun 1545 Masehi," sebut pria pemerhati sejarah dan budaya Dompu ini.
Dae Redo, sapaan pria yang juga Ketua DPD KNPI Kabupaten Dompu ini kemudian mencontohkan Kabupaten Bima menetapkan hari jadinya berdasarkan penobatan Sultan Abdul Kahir (La Kai) sebagai Sultan Bima pada 5 Juli 1640. Dengan demikian pada tahun 2025 ini, Kabupaten Bima berusia 385 tahun.
"Padahal Kesultanan Dompu lebih tua dari Kesultanan Bima. Kesultanan Dompu berdiri tahun 1545 Masehi, sedangkan Kesultanan Bima tahun 1640 Masehi," ungkapnya.
Dae Redo menerangkan sebelum berbentuk kesultanan, Dompu adalah sebuah kerajaan besar. Terbukti Patih Amangkubhumi Majapahit, Gajah Mada dalam ikrarnya yang termasyhur dengan nama Sumpah Palapa tahun 1336 Masehi menyebut Dompo (Dompu) sebagai salah satu kerajaan yang hendak ditaklukkan.
"Generasi pendiri, ulama, pemimpin dan rakyat Dompu sudah lebih dari 20 Generasi jika diambil Peristiwa Sumpah Palapa, di mana secara etimologis, "Dompo" atau Dompu mewakili Indonesia Timur sebagai nagari atau entitas politik yang harus ditundukkan Kerajaan Majapahit.
Dulu (zaman Majapahit,red), Dompu adalah sebuah kerajaan besar, tua, kuat dan maju dan itulah yang menjadi alasan Gajah Mada ingin menguasai Dompo. Kita (Dompu,red) disejajarkan dengan Tumasik atau Singapura yang saat ini jadi negara maju. Setidaknya usia Dompu setelah menjadi entitas politik dari Hindu ke Islam sudah akan memasuki usia 580 tahun atau lebih kurang 700 tahun jika diambil dari Sumpah Palapa," urainya panjang lebar.
Iradat mengungkapkan setelah Tambora meletus, Sultan Abdul Rasul ll Bin Sultan Abdul Wahab bersama rakyatnya, memindahkan dan membangun kembali Asi (istana) dari Dorobata di lokasi Masjid Agung Dompu saat ini atau ke seberang utara Sungai Laju.
Dijelaskannya, Sultan Abdul Rasul ll merupakan Sultan ke-17 Dompu. Bila penetapan Hari Jadi Dompu diambil tahun 1815 saat letusan Tambora atau pada masa pemerintahan Sultan ke-17, maka berarti telah menafikan keberadaan 16 Sultan sebelumnya dan Raja-Raja Dompu jauh sebelum itu.
"Jangan lupakan pengorbanan 16 tokoh pejuang, pemimpin dan pendiri Kesultanan Dompu bersama Ulama dan ribuan leluhur kita sebelum meletusnya Tambora," pintanya.
Menurutnya letusan Tambora tahun 1815 sebagai musibah sekaligus pengingat dan mengandung hikmah yang luar biasa. Bahwa alam semesta berada dalam Kekuasaan dan Pengaturan Allah Azza Wa Jalla. Bekas Kerajaan Pekat dan Tambora sebelah selatan yang hancur tak bersisa akibat letusan Tambora juga akhirnya dimasukkan dalam wilayah Dompu. Namun tidak lantas dapat dijadikan patokan dalam menetapkan Hari Jadi Dompu. Karena itu akan meniadakan eksistensi kebesaran Dompu yang telah hidup dan berkembang beratus-ratus tahun sebelumnya.
"Jangan lupakan sejarah besar Dompu yang tersohor di masa lalu. JASMERAH (Jangan Melupakan Sejarah)!. ALFATIHAH untuk seluruh leluhur Dou dan Dana 'Dompu yang terlah mendahului kita dan mempersembahkan tanah ini untuk generasi Dompu hari ini dan masa depan untuk diwariskan ke generasi berikutnya dengan penuh makna mawas diri. Semoga Tanah Ini, dan Cita-Cita Dompu MAJU di masa depan akan terwujud,
"Busi ro Mawo, Woju Ro Woha, Ma Hiri Nggari. Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur.
AMIIIN YA RABB," pungkasnya. (emo).