Dompu, Lensa Pos NTB - Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin adalah Putra dari Abdul Wahab Sirajuddin dengan istrinya Siti Misbah, lahir di kampung Potu pada tanggal 12 September 1918.
Sebagian besar masyarakat Dompu mengenal sosok Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin adalah sebagai Sultan Dompu yang terakhir, padahal sesungguhnya, Ia juga merupakan Bupati Dompu yang pertama. Hal itu didasarkan pada Undang-undang No 69 Tahun 1958, di mana Kesultanan Dompu berubah statusnya menjadi daerah swapraja. Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin pun tetap berstatus Sultan yang berperan sebagai Kepala Pemerintahan. Setelah Swaparaja berubah statusnya menjadi Kabupaten, mulai terhitung tanggal 1 Desember 1958 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri, No 1187/14/35 tanggal 2 Oktober 1958, diangkat menjadi Bupati Kepala Daerah Kabupaten Dompu.
Dalam perannya sebagai Sultan, Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin adalah pelopor dan penggerak bagi kembalinya kesultanan Dompu yang berdaulat setelah sempat digabungkan dengan Kesultanan Bima. Berbagai catatan sejarah dan arsip istana kesultanan Dompu menjelaskan, bagaimana perjuangan panjang Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin dari tahun 1934 sampai dengan tahun 1947 untuk meraih kembali Kesultanan Dompu yang berdaulat. Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin pun merupakan sosok pejuang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Situasi dan kondisi keamanan yang membaik setelah Perundingan Rum Royen, dimanfaatkan Sultan Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin dan Sultan Bima Muhammad Salahuddin, untuk mengadakan pertemuan guna menyatukan sikap mendukung Negara Kesatuan RI, seperti yang tertuang dalam maklumat 22 November 1945. Kedua sultan meminta kepada Sultan Sumbawa agar berkenan melakukan pertemuan, yang akan dilaksanakan di Kesultanan Dompu pada tanggal 11 April 1950. Ajakan itu dikabulkan oleh sultan Sumbawa, dan berjanji akan mengirim utusan dalam pertemuan tersebut.
Kesultanan Dompu dipilih untuk menjadi tuan rumah pertemuan, bukan hanya karena letaknya yang strategis bagi utusan Bima dan Sumbawa, tetapi ada pertimbangan lain. Sultan Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin dianggap mampu menjaga keamanan dari gangguan kaki tangan NICA. Para peserta pertemuan dengan suara bulat menyatakan dukungan dan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam waktu yang singkat. Pernyataan bersama tiga sultan, disampaikan langsung oleh Sultan Dompu Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin, Sultan Bima, dan datu ranga Sumbawa.
Pada tanggal 13 mei 1950 menghadap Presiden Soekarno di Jakarta, kemudian bertemu dengan pejabat tinggi pemerintah pusat di Yogyakarta. Berkat limpahan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, perjuangan Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin bersama Sultan Muhammad Salahuddin, pada tanggal 18 Agustus 1950 menjadi kenyataan. Mulai saat itu bentuk negara kembali ke bentuk aslinya Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti yang dinyatakan dalam Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus. Sultan Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin telah memberi andil dalam menyelamatkan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai bersama.
Roda politik pemerintahan terus bergulir, seiring perjalanan waktu. Berdasarkan Undang-Undang 69 Tahun 1958, status Kesultanan berubah menjadi Swaparaja, kemudian diganti statusnya dengan Kabupaten, Sultan Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin diangkat menjadi Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Dompu tahun 1958-1960. Perubahan status pemerintahan dana Dompu, tidak akan mengurangi peran Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin di bidang politik pemerintahan. Beliau tetap berperan sebagai kepala pemerintahan. Peluang untuk mewujudkan cita-cita yang tersisa masih terbuka lebar. Semua idaman terpendam, terus diperjuangkan. Pendidikan agama dan umum yang tertinggal terus dibenahi. Rumah-rumah ibadah seperti Sigi ro Langga (masjid dan langgar) ditingkatkan jumlahnya. Perannya sebagai tempat beribadah serta pusat pendidikan dan pengajian terus dilestarikan. Bersamaan dengan itu, jumlah sekolah agama dan sekolah umum terus ditambah dan ditingkatkan mutunya.
Pembangunan dibidang ekonomi, terutama dibidang pertanian, yang terlantar akibat Perang Dunia II mulai mendapat skala prioritas. Dana Dompu kembali sebagai daerah penghasil beras seperti sedia kala. Di kala sedang asyik berjuang untuk membangun dou labo dana Dompu tercinta, ketika sinar mentari 12 September 1964, menyinari gunung, lembah dan ngarai negeri Dompu permai, Sultan muda usia kembali ke alam baka, menghadap Allah SWT pencipta alam semesta. Seluruh rakyat seantero negeri bersedih dan berpilu hati, ditinggalkan oleh pemimpin sejati. Linangan air mata disertai do’a kehadapan Yang Maha Kuasa mengiring arwah sultan masih muda usia. Seolah-olah dia berpesan,“Hai rakyat tercinta, jangan engkau bersedih, teruskan perjuanganku yang belum selesai” (Ditulis oleh : Muhammad Syahroni, SP, Kabid Ekonomi Bappeda dan Litbang Kab. Dompu, Refleksi di Ultah Kab. Dompu ke 204 tahun 2019).
Sebagian besar masyarakat Dompu mengenal sosok Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin adalah sebagai Sultan Dompu yang terakhir, padahal sesungguhnya, Ia juga merupakan Bupati Dompu yang pertama. Hal itu didasarkan pada Undang-undang No 69 Tahun 1958, di mana Kesultanan Dompu berubah statusnya menjadi daerah swapraja. Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin pun tetap berstatus Sultan yang berperan sebagai Kepala Pemerintahan. Setelah Swaparaja berubah statusnya menjadi Kabupaten, mulai terhitung tanggal 1 Desember 1958 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri, No 1187/14/35 tanggal 2 Oktober 1958, diangkat menjadi Bupati Kepala Daerah Kabupaten Dompu.
Dalam perannya sebagai Sultan, Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin adalah pelopor dan penggerak bagi kembalinya kesultanan Dompu yang berdaulat setelah sempat digabungkan dengan Kesultanan Bima. Berbagai catatan sejarah dan arsip istana kesultanan Dompu menjelaskan, bagaimana perjuangan panjang Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin dari tahun 1934 sampai dengan tahun 1947 untuk meraih kembali Kesultanan Dompu yang berdaulat. Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin pun merupakan sosok pejuang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Situasi dan kondisi keamanan yang membaik setelah Perundingan Rum Royen, dimanfaatkan Sultan Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin dan Sultan Bima Muhammad Salahuddin, untuk mengadakan pertemuan guna menyatukan sikap mendukung Negara Kesatuan RI, seperti yang tertuang dalam maklumat 22 November 1945. Kedua sultan meminta kepada Sultan Sumbawa agar berkenan melakukan pertemuan, yang akan dilaksanakan di Kesultanan Dompu pada tanggal 11 April 1950. Ajakan itu dikabulkan oleh sultan Sumbawa, dan berjanji akan mengirim utusan dalam pertemuan tersebut.
Kesultanan Dompu dipilih untuk menjadi tuan rumah pertemuan, bukan hanya karena letaknya yang strategis bagi utusan Bima dan Sumbawa, tetapi ada pertimbangan lain. Sultan Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin dianggap mampu menjaga keamanan dari gangguan kaki tangan NICA. Para peserta pertemuan dengan suara bulat menyatakan dukungan dan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam waktu yang singkat. Pernyataan bersama tiga sultan, disampaikan langsung oleh Sultan Dompu Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin, Sultan Bima, dan datu ranga Sumbawa.
Pada tanggal 13 mei 1950 menghadap Presiden Soekarno di Jakarta, kemudian bertemu dengan pejabat tinggi pemerintah pusat di Yogyakarta. Berkat limpahan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, perjuangan Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin bersama Sultan Muhammad Salahuddin, pada tanggal 18 Agustus 1950 menjadi kenyataan. Mulai saat itu bentuk negara kembali ke bentuk aslinya Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti yang dinyatakan dalam Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus. Sultan Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin telah memberi andil dalam menyelamatkan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai bersama.
Roda politik pemerintahan terus bergulir, seiring perjalanan waktu. Berdasarkan Undang-Undang 69 Tahun 1958, status Kesultanan berubah menjadi Swaparaja, kemudian diganti statusnya dengan Kabupaten, Sultan Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin diangkat menjadi Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Dompu tahun 1958-1960. Perubahan status pemerintahan dana Dompu, tidak akan mengurangi peran Muhammad Tadjul Arifin Siradjuddin di bidang politik pemerintahan. Beliau tetap berperan sebagai kepala pemerintahan. Peluang untuk mewujudkan cita-cita yang tersisa masih terbuka lebar. Semua idaman terpendam, terus diperjuangkan. Pendidikan agama dan umum yang tertinggal terus dibenahi. Rumah-rumah ibadah seperti Sigi ro Langga (masjid dan langgar) ditingkatkan jumlahnya. Perannya sebagai tempat beribadah serta pusat pendidikan dan pengajian terus dilestarikan. Bersamaan dengan itu, jumlah sekolah agama dan sekolah umum terus ditambah dan ditingkatkan mutunya.
Pembangunan dibidang ekonomi, terutama dibidang pertanian, yang terlantar akibat Perang Dunia II mulai mendapat skala prioritas. Dana Dompu kembali sebagai daerah penghasil beras seperti sedia kala. Di kala sedang asyik berjuang untuk membangun dou labo dana Dompu tercinta, ketika sinar mentari 12 September 1964, menyinari gunung, lembah dan ngarai negeri Dompu permai, Sultan muda usia kembali ke alam baka, menghadap Allah SWT pencipta alam semesta. Seluruh rakyat seantero negeri bersedih dan berpilu hati, ditinggalkan oleh pemimpin sejati. Linangan air mata disertai do’a kehadapan Yang Maha Kuasa mengiring arwah sultan masih muda usia. Seolah-olah dia berpesan,“Hai rakyat tercinta, jangan engkau bersedih, teruskan perjuanganku yang belum selesai” (Ditulis oleh : Muhammad Syahroni, SP, Kabid Ekonomi Bappeda dan Litbang Kab. Dompu, Refleksi di Ultah Kab. Dompu ke 204 tahun 2019).