Muslimin Hamzah |
Sejarawan Muslimin Hamzah mengatakan bahwa penyebutan "Suku Mbojo" adalah sesuatu yang keliru dan menyesatkan.
Hal itu dikupasnya dalam tulisannya yang berjudul "Suku Mbojo? Itu Keliru dan Menyesatkan" yang dipostingnya di akun facebooknya Obima.
Berikut selengkapnya tulisan Muslimin Hamzah tersebut.
Suku Mbojo ? Itu Keliru dan Menyesatkan
Lagi-lagi saya harus ngomong saklek. Penamaan Suku Mbojo itu mengada-ada, keliru dan menyesatkan orang Bima. Saya pikir ini ulah segelintir oknum bangsawan Mbojo/Mbojo Nae/Rasanae yang terobsesi oleh kebesaran masa lalu mereka. Padahal, menilik sejarahnya, sejumlah bangsawan Mbojo Nae dulu bertindak sebagai second man alias Londo ireng, Belanda Hitam. Mereka menganggap dirinya bayangan kolonial Belanda di Tanah Bima. Makanya ketika Jenateke Muhammad Salahuddin menerima pengahargaan Officer de Orde van Orange dari Ratu Wilhelmina atas jasa-jasa Sang Jenateke menyukseskan operasi militer Belanda di Pulau Sumbawa, orang Mbojo Nae senang bukan alang-kepalang. Sementara orang/dou Kae seperti Ngali serta orang/dou Bolo serta dou Donggo menangis dalam nestapa. Bagi mereka itu tidak adil. Operasi militer itu telah membuat mereka terpuruk hingga jatuh miskin karena terjebak rentenir. Mereka meratapinya karena kebijakan pajak kolonial yang mencekik leher ditoleransi oleh elit-elit priyayi Kerajaan Bima seperti Sultan Ibrahim, yang berkedudukan di Mbojo Nae. Orang Ngali (Kae), Rasanggaro dan Dena (Bolo/Sila) dan Kala (Donggo) yang suntuknya menyundul langit, akhirnya bangkit melawan. Kita tahu pula, raja-raja Dompu bersikeras menolak kooperatif dengan Belanda hingga Manuru Kupang harus membayar dengan nyawanya sendiri. Baginya lebih baik mati daripada mengikuti kehendak Belanda.
Saya lihat sejumlah oknum bangsawan/bekas bangsawan Mbojo terjebak kesombongan ilutif dengan menganggap Mbojo itu sama dengan Bima bahkan lebih agung dari Bima. Tidak! Itu keliru besar. Mbojo hanya bagian dari Bima, bukan sebaliknya. Bahkan dibandingkan dengan Sape, Kore, Tambora (atau Sanghyang) menurut Nagarakrtagama yang menorehkannya abad ke-14, Mbojo itu bukan apa-apa, kecuali sebuah semesta baru, yang muncul belakangan jauh setelah Sape, Kore dan Sanghyang atau Gunung Tambora (bukan Gunung Sangiang di Wera) eksis, seperti yang diabadikan kitab Nagarakrtagama. Raba pun tidak masuk Mbojo, karennya orang Raba jika ke Pasar Bima, ke Asi atau keluarganya di Sarae atau Kampung Sumbawa, kerap bilang, “lao di mbojo”. Satu hal lagi, jika berani dan mengaggap Mbojo/Mbojo Nae/Rasanae itu unggul, kenapa Anda tidak menggunakan saja Kota Mbojo untuk nama administratif Kota Bima sekarang. Buang Bima-nya ambil Mbojo-nya. Jangan setengah-setengah. Nyatanya Anda ciut nyalinya. Itu tandanya, Mbojo ada dan hidup karena ada Bima. Tanpa Bima dia tidak berarti apa-apa, hanya sebuah kampung besar.
Dengan posisi seperti itu bagaimana mungkin Mbojo menjadi sebuah nama suku dan dikukuhkan oleh Diknas sebagai sebuah nomenklatur suku? Ada pun pembentukan quarted frasa kata adik saya Endo Ibra di FB seperti dou mbojo, sangaji mbojo, nggahi mbojo, dana mbojo dan lainnya, itu bukan rumus baku tapi kebiasaan belaka seperti orang menyebut nggahi/dou Kore, nggahi/dou Donggo, nggahi/dou Sambori, nggahi/dou Kolo, dou Sila, dou Kae, dou Wera dan lainnya. Nah, ada pun frasa itu dipakai secara luas karena dikukuhkan dengan modus dominasi oleh priyayi Mbojo dalam waktu ratusan tahun kala daulah Kerajaan Bima masih bercokol di Tanah Bima, bukan Dana Mbojo. Frasa-frasa tersebut malah bernuansa rasis. Kalau pun ada yang menganggapnya baku sebutan nggahi mbojo untuk bahasa Bima, itu salah salah kaprah. Itu sekadar kebiasaan. Kalau kita menyebut nggahi Bima untuk bahasa Bima itu tidak salah, seperti halnya bahasa Jawa untuk nggahi Jawa, bahasa Sunda/nggahi Sunda.
Dari sekian inskripsi tentang Bima, tidak satu pun yang menyebut Mbojo sebagai semesta utama di Bima. Baik Pararaton, Piagam Jawa, Nagarakrtagama tidak ada yang menisbatkan Mbojo, kecuali Bo, yang tergolong naskah baru dan bukan naskah kuno karena ditulis di era modern, dan zaman kertas kala kolonial bercokol akhir abad ke-19. Sejarawan Prof. Slamet Mulyana serta Prof Agus Aris Munandar dari Universitas Indonesia juga hanya menyebut Bima di buku-bukunya. Para pakar seperti Michael Hichcock mempertegas kalau Bima dibagi dua yakni lowland yakni satu kawasan dataran rendah sempit yang kemudian menjadi Mbojo di timur teluk dan highland di luar itu. Hichcock sama sekali tidak menyebut Mbojo. Dia menyebut juga barat teluk sebagai Donggo. Begitu pun Heinrich Zollinger (1818-1859), cuma menyebut Bima bukan Mbojo ketika dia mengeluh soal sejarah Bima yang dia bilang ribet karena tidak sampai ke hal-hal yang benar tapi penuh dimensi magi. Dalam artikelnya “Verslag van eene reis naar Bima en Sumbawa”, cendekiawan berkebangsaan Swis namun bekerja pada Hindia Belanda ini hanya menyebut Bima dan tak mengenal Mbojo. Juga dokumen Zollinger tentang bahasa Bima dan aksara Bima sama sekali tidak menyebut Mbojo. Literatur-literatur Belanda umumnya menyebut Bima bukan Mbojo seperti buku Jonker “Bimaneesche Texten” dan selusin buku lain. Begitu pun Raffles dalam karyanya History of Java hanya menyebut Bima bukan Mbojo. Hj Maryam R Salahuddin pun yang membahas soal aksara Bima bersama Syukri Abubakar juga tidak menyebut aksara Mbojo. Dennys Lombard di bukunya yang menjadi salah satu “kitab suci” bagi sejarawan modern juga tidak pernah menyebut Mbojo melainkan Bima. Lontara Gowa-Makassar juga tidak secuil pun menyebut Mbojo tapi Bima atau Gima.
Ratusan kajian linguistik bahasa Bima, juga tidak ada yang menyebut bahasa Mbojo, satu dia antaranya tesis Syamsuddin “Kelompok Bahasa Bima-Sumba. Kajian Makna Penghormatan dan Solidaritas” (1996). Atau tesis Made Sri Satyawati, “Pemarkah Diatesis bahasa Bima” dan banyak lagi. Dalam studi linguistik komparatif ihwal kekerabatan bahasa, juga disebut bahasa Bima sebagai kerabat bahasa Lio, Sumba, Ende, dan lainnya. (bersambung)