Muslimin Hamzah |
Justru lewat tulisan ini saya mengingatkan para loyalis Mbojo Nae, Anda jangan korbankan nama historis Bima hanya arena ego Mbojo Nae/Ranasae. Dulu, memang harus kita akui Mbojo itu pusat karena di situlah raja bersemayam dan di situ pula berkumpulnya bangsawan selaku state apparatus negara Bima. Itu dulu, tuan! Sekarang lupakan segala kelebihan tersebut. Lupakan pula privilese untuk wangsa bangsawan yang diberikan oleh kolonial Belanda di era kolonial. Episode itu sudah berakhir. Kedudukan Mbojo Nae dengan Kae, Bolo/Sila, Donggo, Tambora, Sape dan Wera sama saja. Nyatanya yang juara dunia MTQ di Turki orang Rada (Sila/Bolo) Syamsuri Firdaus; yang ketua MK orang Rasabou (Sila/Bolo) Anwar Usman; yang Kejati NTB Arif SH, MH orang kananga (Bolo/Sila); yang gubernur NTB pertama dari sipil setelah era Orde Baru sekaligus wakil gubernur DKI Jakarta pertama dari NTB itu Harun Alrasyid itu orang Rato (Sila/Bolo); yang rektor Universitas Muhammadiyah Mataram Dr H Arsyad Gani dari Kampo Sigi-Rato, (Sila/Bolo); yang walikota Jakarta Barat H Burhanuddin era Gubernur Ahok, orang Rato (Sila/Bolo). Dus, Anda mengedepankan Mbojo Nae sama dengan membunuh Bima sebagai sumber rasa bangga, sumber inspirasi sekaligus ikon suku kita yang punya makna transeden, punya filosofi mendalam, bernilai historis tinggi, dinukil oleh naskah-naskah bermutu tinggi seperti Nagarakrtagama dan Pararaton. Dengan mengedepankan Mbojo, Anda pun ikut membunuh elemen pembentuk Bima yang lain yakni Kae, Bolo, Wera, Sape, Donggo dan Tambora. Dan anda membunuh dirimu sendiri karena berarti mau mengkudeta induk semangmu yang bernama Bima.
Satu hal lagi, misalnya Anda mau beralasan, situs penting kerajaan Bima yakni istana nyatanya ada di Mbojo. Jangan salah! Biaya pembangunan istana Bima (bukan istana Mbojo), sekitar 60-70 persen dari masyarakat di luar Mbojo Nae kata mendiang KH Ghanny Masykur pada saya. Dana itu mereka peroleh dari menjual hasil bumi petani pedalaman. Selebihnya diambil dari kas kerajaan dan bantuan pemerintah Hindia Belanda. Uang Belanda/kerajaan pun dari pajak masyarakat Bima. Menurut cerita KH Ghanny Masykur, puluhan kuda mengangkut sarang burung Perado yang dibeli murah kolonial Belanda tiap musim panen sarang burung, uangnya dipakai untuk membangun istana Bima. Belum lagi padi, jagung, ternak yang disumbangkan masyarakat di luar kawasan Mbojo Nae. Mungkin saja ada sumbangan harta dan tenaga orang Mbojo Nae tapi tidak diceritakan oleh Pak Kiai. (Bersambung)