Muslimin Hamzah Sebut Penamaan "Suku Mbojo" Keliru dan Menyesatkan (3)

Kategori Berita

.

Muslimin Hamzah Sebut Penamaan "Suku Mbojo" Keliru dan Menyesatkan (3)

Koran lensa pos
Jumat, 05 Juli 2019
Muslimin Hamzah
Moral dari tulisan saya ini adalah untuk membela dan mempertahankan marwah Bima sebagai sebuah identitas suku-bangsa yang sangat otentik, genuine, historis bahkan agung. Nama itu punya makna filosofis yang kuat dan mendalam. Dus, bukan untuk memarjinalkan, mendiskreditkan apalagi membunuh Mbojo/Mbojo Nae/Rananae. Mbojo tetap bagian integral Bima sejak semesta ini terbentuk sebagai elemen Kerajaan Bima. Itu tidak bisa dinafikan. Bahkan dalam perkembangannya dia mengungguli kawasan lain berkat posisinya di pesisir yang memang lazimnya sangat dinamis seperti disitir oleh mendiang Dr Kuntowijoyo, sejarawan dari UGM. Namun nama Mbojo itu sendiri jika ditilik secara filosofis ternyata tidak memiliki arti dan makna yang jelas. Cuma Bo menengarainya dengan mengacu pada panggung alam berjuluk “dana mababuju”, tempat raja-raja Bima dilantik dulu-kala, lantas dikukuhkan oleh sejarawan tradisional dari Mbojo Nae lewat analisis yang aneh dan mengada-ada menjadi Mbojo. Perubahan kata babuju menjadi mbojo itu asli ngarang, tipu-tipu, ilusi, mimpi di siang bolong, irasional serta absurd, karenanya tidak ilmiah, tidak baku dan tanpa makna filosofis yang jelas dalam pandangan orang Bima. Analisis sejarawan tempo doeloe juga terbilang alay, artinya norak, kampungan dan berlebihan. Apa istimewanya “dana mababuju?” Tulisan ini juga bukan untuk mendikotomikan Mbojo dengan kawasan lain seperti Kae, Bolo, sape, Donggo, Wera, Sanggar, Tambora  dan lainnya.


  
       Justru lewat tulisan ini saya mengingatkan para loyalis Mbojo Nae, Anda jangan korbankan nama historis Bima hanya arena ego Mbojo Nae/Ranasae. Dulu, memang harus kita akui Mbojo itu pusat karena di situlah raja bersemayam dan di situ pula berkumpulnya bangsawan selaku state apparatus negara Bima. Itu dulu, tuan! Sekarang lupakan segala kelebihan tersebut. Lupakan pula privilese untuk wangsa bangsawan yang diberikan oleh kolonial Belanda di era kolonial. Episode itu sudah berakhir. Kedudukan Mbojo Nae dengan Kae, Bolo/Sila, Donggo, Tambora, Sape dan Wera sama saja. Nyatanya yang juara dunia MTQ di Turki orang Rada (Sila/Bolo) Syamsuri Firdaus; yang ketua MK orang Rasabou (Sila/Bolo) Anwar Usman;  yang Kejati NTB Arif SH, MH  orang kananga (Bolo/Sila); yang  gubernur NTB pertama dari sipil setelah era Orde Baru sekaligus wakil gubernur DKI Jakarta pertama dari NTB itu Harun Alrasyid itu orang Rato (Sila/Bolo); yang rektor Universitas Muhammadiyah Mataram Dr H Arsyad Gani dari Kampo Sigi-Rato, (Sila/Bolo); yang walikota Jakarta Barat H Burhanuddin era Gubernur Ahok, orang Rato (Sila/Bolo). Dus, Anda mengedepankan Mbojo Nae sama dengan membunuh Bima sebagai sumber rasa bangga, sumber inspirasi sekaligus ikon suku kita yang punya makna transeden, punya filosofi mendalam, bernilai historis tinggi, dinukil oleh naskah-naskah bermutu tinggi seperti Nagarakrtagama dan Pararaton. Dengan mengedepankan Mbojo, Anda pun ikut membunuh elemen pembentuk Bima yang lain yakni Kae, Bolo, Wera, Sape, Donggo dan Tambora. Dan anda membunuh dirimu sendiri karena berarti mau mengkudeta induk semangmu yang bernama Bima. 
   
       Satu hal lagi, misalnya Anda mau beralasan, situs penting kerajaan Bima yakni istana nyatanya ada di Mbojo. Jangan salah! Biaya pembangunan istana Bima (bukan istana Mbojo), sekitar 60-70 persen dari masyarakat di luar Mbojo Nae kata mendiang KH Ghanny Masykur pada saya. Dana itu mereka peroleh dari menjual hasil bumi petani pedalaman. Selebihnya diambil dari kas kerajaan dan bantuan pemerintah Hindia Belanda. Uang Belanda/kerajaan pun dari pajak masyarakat Bima. Menurut cerita KH Ghanny Masykur, puluhan kuda mengangkut sarang burung Perado yang dibeli murah kolonial Belanda tiap musim panen sarang burung, uangnya dipakai untuk membangun istana Bima. Belum lagi padi, jagung, ternak yang disumbangkan masyarakat di luar kawasan Mbojo Nae. Mungkin saja ada sumbangan harta dan tenaga orang Mbojo Nae tapi tidak diceritakan oleh Pak Kiai. (Bersambung)