H. Burhanuddin, S. Ag, Kasi PHU Kemenag Dompu |
Dompu, Lensa Pos NTB - Rukun Islam yang kelima adalah menunaikan ibadah haji ke Baitullah bagi yang mampu melaksanakannya.
Bagi yang mampu dari segi biaya dan mampu secara fisik maka wajib untuk melaksanakannya sendiri. Tetapi bagi yang mampu dari segi pembiayaan tetapi tidak memiliki kemampuan secara fisik atau telah meninggal dunia sebelum sempat melaksanakan kewajiban ibadah haji, maka harus dilaksanakan badal haji (pelaksanaan hajinya diwakilkan atau digantikan oleh orang lain)
Hal itu mengacu pada beberapa hadits dari Rasulullah SAW.
Di antaranya hadits shohih yang diiriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA berikut ini.
Pada saat Haji Wada' datanglah seorang wanita dari Tanah Khots'am bertanya (kepada Rasulullah SAW) : Wahai Rasulullah, ayah saya sudah wajib melaksanakan haji tetapi beliau sudah sangat tua sehingga tidak mampu lagi naik kendaraan. Apakah boleh saya menghajikannya ? Nabi SAW menjawab : hajikanlah untuknya. (HR. Bukhari).
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abbas RA, bahwasanya ada seorang wanita dari Tanah Juhainah mendatangi Rasulullah SAW. Ia menanyakan : Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku bernadzar akan melaksanakan haji tetapi beliau telah meninggal dunia sebelum sempat melaksanakannya. Apakah saya bisa menghajikan untuk beliau ? Nabi SAW menjawab : ya, hajikanlah. Bagaimana pendapatmu jika ibumu meninggalkan hutang ? Apakah kamu akan membayarkannya ? (HR. Bukhari).
Kepala Seksi Penyelenggara Haji dan Umroh Kementerian Agama Kabupaten Dompu, H. Burhanuddin, S. Ag menerangkan badal haji ada dua jenis. Yang pertama, badal haji yang ditangani pemerintah, dan kedua, badal haji yang tidak ditangani pemerintah.
Untuk yang pertama adalah bagi jamaah haji yang meninggal dunia sebelum pelaksanaan wuquf di Arofah. Merujuk pada hadits Rasulullah SAW : Alhajju Arofah (Intinya haji itu adalah di Arofah). Maka pihak Kemenag RI berkoordinasi dengan Pemerintah Arab Saudi untuk mencarikan Mubdil (orang yang menggantikan/mewakilkan haji) bagi almarhum.
"Seluruh rangkaian ibadah hajinya almarhum tersebut akan dilakukan oleh orang yang membadalkan haji," jelasnya.
Demikian pula bagi jamaah haji yang sakit sebelum wuquf di Arofah, maka akan disafariwuqufkan (dibawa menuju Arofah untuk melaksanakan wuquf), sedangkan rangkaian ibadah selanjutnya boleh dibadalkan kepada orang lain.
"Untuk jamaah haji yang meninggal dunia sebelum wuquf dan yang sakit ini diurus oleh pemerintah," terangnya.
Sedangkan cara kedua adalah pelaksanaan badal haji dilakukan oleh masyarakat sendiri tanpa berkoordinasi dengan pihak Kemenag. Burhan mengatakan badal haji yang kedua ini meskipun tidak berkoordinasi dengan Kemenag tetapi secara hukum tetap sah bila mengikuti ketentuan dan tata cara yang dibenarkan oleh syariat agama.
Karena itu ia mengimbau kepada masyarakat untuk memperhatikan beberapa ketentuan mengenai badal haji ini.
Yang pertama, berdasarkan tuntunan dari Rasulullah SAW, badal haji lebih afdol dilaksanakan oleh keluarga sendiri. "Bukan berarti dititipkan orang lain itu tidak boleh tetapi lebih afdolnya sunnahnya dilakukan oleh keluarganya sendiri," jelasnya.
Kedua, Burhan mengingatkan masyarakat juga supaya hati-hati dan selektif dalam menitipkan badal haji kepada orang lain.
Karena ketentuan membadalkan haji itu hanya bagi orang yang sudah pernah melaksanakan ibadah haji sebelumnya.
Dengan kata lain badal haji tidak bisa dilakukan oleh orang yang baru pertama kali melaksanakan haji.
Ketiga, orang yang membadalkan haji juga dari awal harus berniat menggantikan haji orang yang diamanatkan kepadanya bukan meniatkan haji untuk dirinya sendiri.
Keempat, orang yang melaksanakan badal haji (mubdil) hanya bisa menggantikan haji satu orang saja dalam satu musim haji.
Mengenai besarnya biaya untuk badal haji ini, Burhan tidak mengetahuinya secara pasti.
"Saya tidak tahu berapa biaya badal haji karena itu bukan ranah kami di Kemenag," pungkasnya. (AMIN)