Mataram, koranlensapost.com - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) telah mengesahkan Raperda tentang Pencegahan dan Perkawinan Anak menjadi Peraturan Daerah (Perda). Pengesahan Raperda inisiatif DPRD NTB tersebut menjadi Perda Provinsi NTB dilakukan dalam Rapat Paripurna DPRD NTB yang digelar pada Jumat (29/1/2021) lalu.
Ketua Pansus Akhdiansyah, S. Pd.I menjelaskan landasan hukum penyusunan Perda tersebut adalah UU nomor nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Perkawinan nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dikatakannya Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) mengamanatkan bahwa perlindungan terhadap anak, hak-hak anak serta menjamin masa depan anak bukan saja tugas dan tanggung jawab negara, melainkan tugas bersama semua pihak.
Sementara UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974 menyebutkan usia perkawinan paling sedikit 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Peraturan tersebut direvisi oleh UU nomor 16 tahun 2019 menjadi sama antara pria dan wanita yakni batas minimal 19 tahun.
Ditegaskan Akhdiansyah Perda Pencegahan.Perkawinan Anak mengatur punishment bagi aparatur desa maupun siapa saja yang terlibat dalam memfasilitasi perkawinan anak. Punishment dimaksud berupa sanksi administratif bahkan sanksi pidana. Sanksi administratif dalam bentuk denda minimal Rp. 5 juta dan maksimal Rp. 50 juta. Sedangkan sanksi pidana berupa hukuman penjara 6 bulan.
"Punishment berupa sanksi atau denda ini merupakan langkah terakhir. Kalau ada aparatur desa yang memfasilitasi perkawinan anak diberikan teguran dulu. Kalau berkali-kali baru dikenai sanksi administrasi atau sanksi pidana. Intinya Perda ini sebenarnya lebih mendahulukan pendekatan persuasif," jelas Legislator Utusan PKB asal Dompu ini.
Ia melanjutkan selain punishment, Perda ini juga mengatur pemberian reward atau penghargaan bagi pihak-pihak yang telah berjuang untuk menghambat laju perkawinan anak ini.
Menurut Akhdiansyah, Perda tersebut sebagai bentuk kehadiran negara dalam upaya menekan laju pernikahan usia anak. Sehingga anak sebagai generasi bangsa menjadi perhatian bersama. Apalagi di NTB, kasus perkawinan anak trend-nya cukup tinggi.
"Dalam 5 tahun terakhir, angka pernikahan usia anak di NTB selalu tinggi. Untuk tahun 2020 saja berdasarkan data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) NTB, perkawinan anak di bawah umur tingkat SMA/SMK sederajat mencapai 874 kasus," urainya.
Selanjutnya ia meminta OPD terkait yang ada di provinsi serta kabupaten/kota agar melakukan sosialisasi kepada masyaraka untuk meminimalisir terjadinya kasus pernikahan di bawah umur. Karena pernikahan anak akan berdampak pada banyak aspek. Di antaranya buah perkawinan anak akan melahirkan generasi stunting, maraknya kasus perceraian karena secara fisik dan mental belum siap dalam berumah tangga.
Lebih lanjut dikatakannya bahwa pemerintah daerah harus mengalokasikan minimal 1% dari APBD untuk pencegahan perkawinan anak.