Pengembangan peternakan sapi adalah salah satu program unggulan Pemerintah Kabupaten Dompu di bawah kepemimpinan Bupati H. Kader Jaelani dan Wabup H. Syahrul Parsan. Hal itu telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Dompu tahun 2021-2026 yang dikenal dengan program JARAPASAKA (Jagung Porang Padi Sapi dan Ikan).
Pada masa lalu, jenis sapi yang diternakkan oleh masyarakat Dompu umumnya sapi lokal (sapi bali) yang posturnya kecil. Tetapi belasan tahun belakangan ini, para peternak banyak mengembangkan jenis sapi-sapi berbodi jumbo. Umumnya sapi impor ini berwarna putih. Jenisnya antara lain simental dan limosin. Tidak aneh jika di daerah yang terletak di tengah Pulau Sumbawa ini banyak sapi-sapi peranakan berwarna putih. Ada juga yang berwarna belang (komba), campuran warna putih dan kuning kecoklatan. Peranakan ini hasil perkawinan sapi impor jantan dengan sapi lokal betina. Warga setempat menyebutnya capi lobo.
Ada yang unik dalam proses kelahiran capi lobo ini. Sang induk yang umumnya sapi lokal berbodi mungil membutuhkan bantuan tangan manusia yang menariknya agar proses persalinan bisa selamat. Sudah banyak kejadian induk sapi lokal yang sedang proses melahirkan akhirnya mengalami kematian karena tidak ada orang yang membantu menarik "sang bayi"nya. Sang bayi sapi pun mati juga.
Sejak dulu peternakan sapi di daerah bermotto Nggahi Rawi Pahu itu umumnya menggunakan sistem tradisional lepas liar. Meskipun ada juga sebagian yang menggunakan sistem perkandangan. Pemkab Dompu sendiri telah menetapkan kawasan Doroncanga di Desa Doropeti Kecamatan Pekat Kabupaten Dompu sebagai daerah pelepasan ternak. Biasanya pada musim hujan para peternak sapi mengangkut ternak-ternaknya untuk digembalakan secara liar di kawasan yang cukup luas ini. Ribuan bahkan bisa belasan ribu ekor sapi memadati kawasan Doroncanga di musim hujan. Rerumputan di kawasan ini tidak pernah tinggi karena selalu jadi santapan sapi-sapi itu.
Para pemilik ternak secara bergantian datang mengontrol hewan ternak yang mereka lepas liarkan di kawasan ini. Biasanya mereka terbentuk dalam kelompok-kelompok sesuai dengan wilayah domisili.
Pelepasan di Doroncanga dilakukan di musim hujan karena pada saat yang sama para petani sedang menggarap lahan mereka. Di lahan tadah hujan umumnya ditanami jagung.
Usai panen jagung, para petani di sebagian wilayah umumnya memanfaatkan sisa-sisa hujan dengan berbudi daya kacang hijau. Lumayan buat menambah penghasilan karena tanaman ini mudah tumbuh meski hanya dengan bantuan embun saja. Tanaman ini juga tidak membutuhkan pupuk.
Bulan April - Mei, musim kemarau tiba, sapi-sapi yang dilepaskan di kawasan savana Doroncanga mulai kekurangan bahan makanan. Rerumputan yang tidak pernah panjang itu mulai terlihat menguning.
Para pemilik ternak mulai gelisah karena melihat sapi-sapi yang mereka lepas di kawasan itu terlihat kurus kekurangan pakan. Hendak dipertahankan di situ, rerumputan sudah gundul sekali. Kawasan Doroncanga bagai lapangan bola. Sejauh pandangan mata kering kerontang. Namun hendak diangkut pulang ke kampung asal untuk dilepasliarkan di kawasan sekitar, lahan-lahan tadah hujan masih ditanami kacang hijau.
Sebagian pemilik ternak mencari cara yang lain. Sapi-sapi milik mereka tetap dipertahankan masih berada di kawasan savana Doroncanga. Untuk pakannya dicarikan jerami maupun limbah-limbah jagung hasil panenan masyarakat. Namun sebagian ada yang nekat mengangkut sapi-sapi miliknya dibawa pulang ke kampung asal.
Sapi-sapi yang dipulangkan ini kemudian dilepaskan di lahan-lahan tadah hujan yang tidak ditanami kacang hijau. Para pemilik ternak masih terus menjaga hewan ternaknya yang dilepaskan di lahan-lahan tadah hujan yang kosong itu. Tujuannya agar tidak memakan tanaman kacang hijau milik petani yang lokasinya tidak jauh dari lokasi pelepasan ternak mereka.
Namun yang namanya sapi tetaplah sapi. Tanaman kacang hijau di sekitarnya selalu 'menggoda'. Di saat pemilik lengah, sapi-sapi itu menerobos masuk dan menyantap tanaman kacang hijau. Buntutnya pemilik ternak harus membayar ganti rugi. Peristiwa semacam ini pun sering kali terjadi.
Pada sekitar bulan Juni, kawasan Doroncanga sepi. Semua sapi umumnya dibawa pulang kembali ke tempat asal masing-masing. Dibawa pulang ini umumnya kemudian dilepasliarkan di lahan-lahan yang kosong.
Tidak mengherankan jika di musim kemarau seperti saat ini hewan jenis ruminansia (pemamah biak) ini berkeliaran di mana-mana.
Bagi masyarakat Dompu sendiri, melihat sapi dilepasliarkan bahkan menyeberang jalan raya sudah biasa. Tetapi bagi pendatang dari daerah lain akan menganggap hal itu aneh dan sungguh mengherankan.
Penulis sebagai masyarakat awam menilai peternakan sapi sistem lepas liar ini tentu ada nilai plus dan minusnya. Ada sisi keuntungan dan kerugiannya. Ada sisi positif dan negatifnya.
Apa nilai plusnya?
Dalam pandangan penulis, melepas sapi secara liar menguntungkan bagi pemilik sapi itu sendiri. Ia tidak perlu berpayah-payah menyabit rumput. Sapi-sapi miliknya bisa mencari makan sendiri di alam bebas. Itu satu-satunya nilai keintungan dalam peternakan sapi secara lepas liar.
Lalu nilai negatif atau kerugiannya apa?
Penulis melihat banyak sekali sisi negatif dari peternakan lepas liar ini.
Pertama, Merusak tanaman pertanian dan perkebunan
Pada musim hujan, para petani juga memanfaatkan lahan-lahan miliknya dengan menanam cabe, pepaya, tomat, kacang panjang, terong, maupun aneka tanaman sayur-mayur lainnya. Tanaman-tanaman ini sebenarnya bisa menambah penghasilan para petani karena bisa dijual ke pasar. Setidaknya mengurangi pengeluaran. Itu bisa berkelanjutan hingga musim hujan berikutnya seandainya tidak ada gangguan.
Bahkan ada juga yang menanami dengan pohon buah-buahan seperti mangga, nangka dan sawo.
Tetapi saat musim kemarau, tanaman-tanan tersebut menjadi santapan sapi-sapi yang dilepasliarkan itu. Realita ini tentu saja merugikan petani. Petani hanya bisa mengelus dada melihat tanaman-tanamannya habis jadi santapan sapi yang dilepas liar.
Kedua, Membahayakan bagi Keselamatan Berlalu Lintas
Sapi-sapi yang dilepas secara liar kerap kali melintasi dan tiba-tiba menyeberangi jalan raya maupun di jalan-jalan desa yang dilalui kendaraan bermotor. Kasus kecelakaan lalu lintas akibat sapi tiba-tiba menyeberang jalan sudah sering kali terjadi di Kabupaten Dompu. Apalagi di malam hari saat gelap para pengguna jalan harus ekstra hati-hati.
Ketiga, Merugikan Peternak Sendiri
Pelepasan ternak secara liar merugikan peternak sendiri. Kejadian sebagaimana disebutkan di atas sering terjadi. Ternak yang dilepas mati akibat melahirkan tanpa diketahui pemiliknya. Bisa juga karena keracunan atau karena penyakit yang tidak sempat ditangani oleh pemiliknya.
Sapi hilang karena kecurian juga sering terjadi. Hal ini jelas merugikan bagi pemilik ternak.
Keempat, Merusak Program Pelestarian Alam
Program reboisasi dan penghijauan di Kabupaten Dompu dalam upaya pelestarian alam sejak 10 tahun terakhir ini sudah banyak menghabiskan anggaran negara. Tetapi anggaran negara tersia-siakan begitu saja. Fakta membuktikan tingkat keberhasilannya sangat rendah kalau tidak mau disebut gagal total.
Mengapa hal itu bisa terjadi ?
Penulis mencermatinya karena beberapa faktor. Bisa karena faktor alam, faktor kelalaian manusia dan faktor pengrusakan oleh hewan ternak lepas liar. Di puncak musim kemarau, ternak yang dilepasliarkan semakin kesulitan mendapatkan makanan. Kulit-kulit tanaman muda seperti jati, gamelina, dan mahoni akhirnya jadi sasaran santapan. Apalagi jenis tanaman seperti mangga, nangka, klengkeng, atau sawo dan rambutan langsung disantap bersama daun dan batang-batangnya.
Melihat plus minus di atas, menurut hemat penulis, Pemkab Dompu melalui dinas terkait harus melakukan langkah yang lebih modern dalam pengembangan ternak sapi ini. Masyarakat harus diedukasi untuk melakukan pengembangan peternakan dengan sistem perkandangan. Sistem perkandangan jauh lebih menguntungkan, efektif dan efisien dibandingkan dengan pelepasan liar. Apalagi sumber pakan dari limbah pertanian sangat berlimpah ruah dan selama ini terbuang begitu saja tanpa dimanfaatkan. Semoga bermanfaat!.