Oleh : Ety Ervinawati*
Pendidikan bahasa tidak selalu identik dengan berbicara dan menulis, menyampaikan perasaan dengan nyaring atau beradu argumen dengan lantang. Tapi juga tentang mendengarkan, menyimak dan berempati atas semua suasana dan situasi pemberi pesan.
Hanya saja, menjadi lincah dalam public speaking menjadi dambaan semua orang. Belajar banyak hal, dan mempraktikkan di depan cermin, entah mencoba dengan ratusan kali kegagalan. Membuang rasa gugup ketika berada di depan umum, dengan menerapkan berbagai rahasia yang dibeberkan sang idola. Banyak sekali teori tentang bagaimana menjadi pembicara yang lincah, mampu menguasai audiens, sampai materi yang memiliki daya tarik tinggi. Selalu saja menjadi prioritas dan digandrungi peminat.
Kiat-kiat menjadi penulis sukses, bahkan banyak terpampang di berbagai judul buku, luar dan dalam negeri. Media sosial pun tak luput dari promosi besar-besaran, cara praktis untuk menjadi penulis buku yang best seller. Ada perkiraan waktu, hanya hitungan hari bisa menjadi seorang penulis.
Benarkah ada kiat-kiat menjadi pendengar yang baik? Merespons dengan tepat dan cepat. Adakah teorinya? Siapa penulisnya?
Menurut Abdul Wahab Rosyidi (2009), mendengar merupakan kemampuan yang memungkinkan seorang pemakai bahasa untuk memahami bahasa yang digunakan secara lisan. Kemampuan mendengar merupakan bagian yang penting dan tidak dapat diabaikan dalam pembelajaran bahasa, terutama bila tujuan penyelenggaraannya adalah penguasaan kemampuan berbahasa secara lengkap.
Ditegaskan kembali oleh Devito (dalam Janasz, 2009), bahwa yang sering luput dari perhatian kita yang justru sangat penting untuk memperlancar dan membuat komunikasi menjadi berkualitas yaitu sikap mendengarkan secara aktif. Jika mengukur tingkat kepentingan suatu kegiatan menurut ukuran waktu maka mendengarkan merupakan kegiatan komunikasi yang paling penting di samping membaca, berbicara atau menulis.
Ironisnya, kebanyakan dari kita adalah pendengar yang buruk. Memang mendengarkan secara aktif bukannya sesuatu yang mudah, namun meningkatkan keterampilan ini akan sangat banyak manfaatnya karena peran pentingnya dalam komunikasi.
Dilansir dari Pinisi.co.id, yang ditulis oleh Ruslan Ismail Mage (2020) dengan judul artikel “Kecerdasan Mendengar,” mengatakan bahwa kecerdasan mendengar adalah kunci dari kesuksesan di masa yang akan datang. Seorang presiden akan mengakhiri kekuasaannya sebagai tokoh kartun, jika tidak cerdas mendengarkan jeritan rakyatnya. Seorang politisi akan menjadi pecundang kalau tidak cerdas mendengarkan harapan-harapan rakyatnya. Seorang pengusaha akan mengalami kebangkrutan jika tidak cerdas mendengarkan keluhan konsumennya. Hubungan suami istri, persahabatan, terlebih pacaran, akan berakhir putus kalau tidak memiliki kecerdasan mendengar.
Argumen di atas dikuatkan dengan Firman Allah yang menekankan pentingnya memaksimalkan fungsi-fungsi telinga untuk mendengar : “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”(QS. An-Nahl : 78).
Sudah optimalkah kegunaan telinga? Entah kenapa, kegunaan telinga tidak dioptimalkan layaknya mulut yang hanya memiliki satu, tapi kekuatannya sangat luar biasa. Banyak hal bisa diubah hanya dengan satu mulut, dan beberapa mulut yang bersatu. Tidak ada dua telinga dan beberapa telinga yang bersatu.
Zaman telah berubah. Bukan lagi soal mulut yang mengeluarkan nada tinggi dan rendah. Tapi berubah bentuk menjadi kumpulan kata-kata dan kalimat, saling menyambung membentuk rantai raksasa, memenuhi kehidupan. Semua bersuara, hanya saja bentuknya yang kini berbeda.
Lalu mendengarkan menjadi terasing dari hiruk-pikuk pikiran yang terus dimunculkan dipermukaan. Ketika sedikit kekhilafan kata-kata terjadi, semua menjadi panglima perang di garis depan untuk memerangi satu sama lain. Ungkapan kebencian membombardir lalu lintas kata yang begitu cepat. Sebelum sempat menuntaskan kalimatnya. Media sosial menjadi pisau bermata dua.
Manusia menjadi tidak sabaran akan banyak hal. Tidak sabaran mendengarkan penutur menyelesaikan kalimatnya hingga tuntas. Terlalu cepat memotong percakapan, padahal inti dari percakapan selalu di akhir kalimat. Kesimpulan selalu pada bagian terakhir sehingga muncullah perantara baru, yang biasa disebut pengertian, toleransi atau kompromi. Membangun jembatan pengertian membutuhkan sarana dan prasarana, yakni pendidikan bahasa yang tepat dan manusia yang berkarakter. Bagaimana menggunakan bahasa yang tepat dalam menyampaikan kritik dan saran, tanpa harus menghina satu sama lain, yang akan berujung adu kekuatan fisik.
Menumbuhkan pengertian dalam semua lini kehidupan, sangat sulit diterapkan. Entah antara orangtua dan anak, guru dan murid, penguasa dan masyarakat. Banyak faktor yang saling bertalian satu sama lain.
Seperti yang kita tahu beberapa waktu lalu, seorang guru di SMAN 1 Belo, Kabupaten Bima beradu argumen hingga fisik dengan seorang siswanya. Penyebabnya sang guru menegur kelakuan siswa yang merokok di sekolah, tapi siswanya tersinggung karena dianggap melukai harga dirinya. Terjadilah adu kekuatan fisik dan siswa menganiaya guru sebagai luapan emosi sesaat akibat sakit hati.
Benarkah gurunya kurang sabaran menghadapi muridnya? Kekuatan bahasanya yang belum mumpuni? Apakah muridnya yang kurang pengertian dan menaruh hormat? Tak seharusnya dia bertindak melampaui batas?
Selalu saja tanggap terhadap masalah. Semua mata menuju masalah. Bersama-sama mencari solusi, agar masalah bisa terselesaikan hingga tuntas. Jangan ada kata larut, karena dikhawatirkan masalah besar, dianggap biasa setelah tersimpan tanpa penyelesaian yang pasti.
Batas tuntas terletak pada upaya dan usaha yang dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya masalah. Tentu dengan berbagai upaya bersama-sama, agar tujuan bersama dapat tercapai dengan berbagai cara. Orangtua berperan dalam membimbing dan memberi contoh pada anaknya, tentang nilai dan adab yang baik, dalam berinteraksi dengan sebayanya dan orangtua. Di sekolah, tugas guru mendidik dan mengarahkan anak. Memberi harapan dan menciptakan impian untuk muridnya. Pemerintah menjadi perantara dalam menciptakan sarana dan prasarananya, melalui program-program yang bisa membentuk karakter anak didik.
Pendidikan bahasa menjadi sangat penting untuk kehidupan sehari-hari. Terutama untuk membangun jembatan penyeberangan antara sikap pengertian dan keterampilan mendengarkan yang baik. Dengan beragamnya latarbelakang dan lingkungan individu, seharusnya bahasa berperan sebagai jembatan penyeberangan, agar tidak ada kesalahpahaman ketika berkomunikasi.
*Penulis: Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Yapis Dompu.