Pj. Gubernur NTB, Lalu Gita Ariadi (batik kuning tengah) foto bersama pihak sponsor dari Bank Mandiri M. Haris Budiman, PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk Arif Gunawan Sulistiyo, Tim Penguji dan Panitia UKW PWI NTB 2024 usai acara pembukaan, di Hotel Prime Park Lombok, Kamis (18/1/2024) lalu
Koranlensapos.com - Lalu Gita Ariadi, di sela-sela kesibukannya sebagai Penjabat Gubernur NTB saat ini masih menyempatkan waktu untuk menulis. Tulisan-tulisannya dimuat di beranda facebook miliknya, yang juga sama dengan namanya. Hal-hal biasa dan ringan dapat diolahnya menjadi sebuah tulisan yang renyah dibaca. Tentu saja bernilai edukatif serta informatif.
Sosok yang akrab disapa Miq Gita ini rupanya sudah produktif menulis sejak masih menjadi mahasiswa di Universitas Brawijaya Malang (1984 - 1989). Persahabatannya dengan seorang jurnalis memberikan energi positif baginya untuk mengasah diri dalam menulis. Ia aktif di lembaga pers kampus. Bahkan tulisan-tulisannya banyak dimuat di koran-koran nasional sekelas Jawa Pos dan Suara Indonesia kala itu. Sebuah artikel atau opini berhasil dimuat di harian nasional bukanlah mudah. Redaksi pasti akan mencermati bobot tulisan dari berbagai aspek untuk menentukan layak atau tidaknya dimuat.
Gita muda mendapatkan banyak berkah karena produktivitas menulis yang dilakoninya. Selain memberikan kebanggaan tersendiri, juga ia mendapatkan honor ketika tulisannya dimuat.
Honor pertama diterimanya dari media Suara Indonesia. Salah satu tulisan yang ia kirim ke redaksi surat kabar tersebut dimuat.
"Dapat 15 ribu bangganya luar biasa. Benar-benar menjadi sumber inspirasi dan motivasi ketika wesel terlambat datang," ucapnya saat membuka kegiatan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI NTB yang digelar di Hotel Prime Park Lombok, Kamis (18/1/2024) lalu.
Sejak saat itu, Gita terus aktif dan produktif menulis. Setiap minggu tulisannya dimuat di Suara Indonesia. Sehingga setiap bulan bisa mendapatkan honor Rp. 60 ribu. Gita mengaku honornya setiap bulan sama dengan yang dikirim orang tuanya untuk satu bulan juga. Ditambah lagi dengan beasiswa Supersemar 5 ribu per bulan yang diperolehnya.
Ketika tulisan-tulisannya rutin dimuat di Suara Indonesia, Gita ingin 'naik kelas'. Ia ingin agar tulisannya juga bisa dimuat di Jawa Pos, harian besar nasional waktu itu. Keinginananya itu muncul ketika melihat tulisan Prof. Sholihin Abdul Wahab (Guru Besar Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang,red) kerap dimuat di Jawa Pos.
Hasratnya yang membara mendorongnya untuk matur pada sang guru besar guna mendapatkan trik-trik agar tulisannya bisa dimuat di Jawa Pos.
"Kalau ingin tulisanmu dimuat, kamu harus siap untuk kecewa sepuluh kali. Kalau berani dan siap kecewa sepuluh kali, lanjutkan dengan yang kesebelas," kata sang guru besar.
Gita pantang menyerah. Tekadnya yang kuat agar tulisannya bisa dimuat di Jawa Pos membuatnya bersemangat. Ia sudah siap untuk kecewa 10 kali. Asalkan bisa diterima pada tulisan ke 11.
Momen yang dimanfaatkan Gita untuk membuat tulisan yakni tatkala Menteri Dalam Negeri, Jenderal (Purn) Rudini mengintrodusir (memperkenalkan) seluruh PNS dengan seragam Hansip (Pertahanan Sipil). Kebijakan itu ditentang banyak kalangan di antero Nusantara. Dianggap militerisasi sipil.
Gita melihat hal itu dari posisi yang berbeda. Ia melihat dari sudut pandang lain terhadap kebijakan Mendagri itu.
"Saya mencari justifikasi dari segi administrasi. Kebetulan saya di jurusan administrasi negara. Maka saya membuat tulisan judulnya "Deoknumisasi Birokrasi". Saya memahami bahwa penggunaan pakaian Hansip ini untuk menanamkan nilai kedisiplinan," ujarnya.
Diuraikan Gita dalam tulisan berjudul "Deoknumisasi Birokrasi" itu bahwa nilai kedisiplinan mutlak diperlukan untuk meningkatkan kinerja serta menghilangkan mentalitas oknum-oknum yang tidak disiplin.
"Saya kirim tulisan itu ke redaksi Jawa Pos. Saya sudah siap untuk kecewa dengan tulisan itu," katanya.
Namun tak dinyana seminggu kemudian tulisan itu dimuat Jawa Pos. Hal itu diketahuinya usai subuh, saat loper memasukkan koran ke tempat kosnya. Aktivitas rutin yang biasa dilakoni sang loper.
"Iseng-iseng saja saya melihat-lihat koran itu tak ada perasaan apapun. Di halaman 4 ada tulisan besar berjudul "Deoknumisasi Birokrasi" oleh Lalu Gita Ariadi Puyung. Meledak rasanya kepala ini," aku Gita dengan suara menggelegar mengenang peristiwa itu.
Gita mengejar loper itu dan memborong semua koran yang dibawa. Koran-koran itu kemudian dibagikan satu per satu kepada teman-temannya. Hal itu dilakukan Gita saking bangganya sebab tulisannya yang pertama langsung dimuat Jawa Pos.
"Sampai sekarang histeria itu masih terbayang," tuturnya.
Diakuinya tulisan yang dimuat pada kiriman pertama di Jawa Pos ini jauh lebih membanggakan baginya ketimbang lolos pada ujian skripsi yang dibuatnya waktu itu.
"Alhamdulillah skripsi lancar dan sebagainya hanya berkat sebuah tulisan yang dimuat di media massa. Dan honornya waktu itu jauh lebih besar dari Suara Indonesia," akunya dengan rasa bangga.
Selanjutnya usai menempuh pendidikan tinggi di Ilmu Administrasi Negara Unibraw Malang, Gita masuk birokrasi. Ia ditempatkan sebagai Kasubbag Pemberitaan Humas Setda Sumbawa (1993) di masa kepemimpinan Bupati Kolonel (Purn) Jakub Koswara. Ia dijadikan sebagai konspektor pidato sang bupati. Hobi menulis pun tetap dilakoninya.
"Saya tetap menulis di Suara Nusa. Sekalipun masih PNS muda. Apa yang saya lihat saya tulis. Kirim artikel," akunya.
Beberapa tahun kemudian Gita dipercaya menjadi konseptor pidato para Gubernur NTB mulai dari Warsito, Harun Al Rasyid dan Lalu Serinata. Meski sibuk, namun Gita tetap meluangkan waktu untuk tetap menulis dan intens dalam pertemanan dengan para jurnalis.
Kebiasaan positif itu terus dilakoninya hingga berada di posisi sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) NTB dan Pj. Gubernur NTB saat ini.
"Pertemanan saya dengan para jurnalis sampai sekarang masih tetap intens," ucapnya sembari
menyebut antara lain wartawan senior Khaerul Kompas, Adhar Hakim, H. Abdus Syukur dan Sarwon serta wartawan di daerah-daerah.
Selaku Pj. Gubernur NTB, Miq Gita tetap ingin selalu bersama wartawan. Salah satunya melalui program Jumat Salam (Jumpai Masyarakat Selesaikan Aneka Persoalan Masyarakat).
"Poin penting kami adalah penegasan kepada Kepala OPD setiap turun harus mengikutsertakan masing-masing Kepala Dinas itu seorang wartawan," jelasnya.
Kebijakan itu diambil Gita agar OPD memahami kondisi riil di masyarakat dan wartawan dapat menulis yang produktif, inspiratif dqn positif tentang desa.
"Kami ingin setiap Jumat Salam turun diharapkan wartawan menulis straight news kunjungan kepala dinas ke desa-desa. Tetapi juga sisi lain yang mendorong upaya perubahan dan perbaikan. Harapan kami setiap turun akan ada tulisan yang diproduksi berita-berita baik dari desa. Ketika diproduksi berita baik dari desa, maka ruang publik diisi dengan kabar-kabar baik yang menyejukkan. Dan ini kami butuhkan. Kami ingin mempersempit ruang publik dengan berita-berita hoaks. Tetapi dengan berita-berita yang positf dan inspiratif," paparnya.
Bukan hanya sampai di situ, Miq Gita juga menginstruksikan kepada Kadis Kominfotik untuk melakukan lomba.
"Pilihlah wartawan terproduktif yang mampu menyerahkan copy tulisan berita baik tentang desa sebanyak-banyaknya. Siapa wartawan yang terbanyak menulis berita baik dari desa-desa yang kami kunjungi maka berpeluang untuk mendapatkan reward. Tiket umroh disiapkan," sebutnya.
Gita menginginkan media-media pemberitaannya solutif, positif dan inspiratif.
"Ini adalah pola relasi yang ingin kami bangun dengan teman-teman wartawan. Saya sangat mengapresiasi karya-karya dan kerja jurnalis," ucapnya mengapresiasi.
Memungkasi sambutannya, Miq Gita menyampaikan apresiasi kepada PWI dan BUMN yang telah menyelenggarakan UKW bagi para wartawan.
"Terima kasih kepada PWI yang telah melaksanakan acara ini bersama BUMN. Kami sebagai user sangat membutuhkan wartawan. Wabilkhusus wartawan-wartawan dengan tingkat kompetensi yang baik," pungkasnya. (emo).