Koranlensapos.com - Istilah serangan fajar sangat familiar di tengah masyarakat dalam setiap event pemilihan umum. Tidak terkecuali pada momen Pemilihan Kepala Daerah tahun 2024 ini. Istilah tersebut tidak asing bagi masyarakat.
Hal itu menunjukkan bahwa praktik jual beli suara itu bukan rahasia lagi. Bahkan jadi trending topic menjelang hari-hari pencoblosan.
Bagaimanakah hukumnya serangan fajar itu dari sudut pandang Agama Islam?
Ketua Umum MUI Kabupaten Dompu, KH. Mokh Nasuhi yang dikonfirmasi koranlensapos.com menyebut serangan fajar, money politic, jual beli suara atau apapun namanya hukumnya haram. Dalam Islam mengkategorikan sebagai risywah (suap). Pemberi dan penerima sama-sama mendapatkan dosa. Bukan hanya itu, hidup pun menjadi tidak berkah.
H. Nasuhi menegaskan hal ini dengan merujuk pada keterangan
Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Niam Sholeh. Prof Niam menjelaskan, memilih pemimpin harus berdasarkan kompetensi. Pemimpin yang terpilih idealnya yang mengemban amanah demi kemaslahatan.
"Setelah mendengar visi misi calon dalam masa kampanye, saatnya kita kontemplasi dan memilih sesuai hati yang jernih, meminta pertolongan Allah SWT agar diberi pemimpin yang shiddiq atau jujur, yang amanah atau dapat dipercaya," kata Prof Niam dalam keterangan yang diterima MUIDigital, Selasa (13/2/2024) di sela-sela Rapat Pimpinan Harian rutin MUI di Aula Buya Hamka, Jakarta.
Prof Niam menambahkan, dalam memilih pemimpin juga didasarkan pada sifat tabligh atau kemampuan eksekusi, serta fathanah atau memiliki kompetensi.
Oleh karena itu, Prof Niam menegaskan, tidak boleh memilih pemimpin didasarkan kepada sogokan atau pemberian harta.
"Orang yang akan dipilih atau yang mencalonkan diri juga tidak boleh menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih, seperti menyuap atau dikenal serangan fajar hukumnya haram," jelasnya.
Prof Niam menegaskan, praktik tersebut yang dikenal dengan serangan fajar hukumnya haram bagi pelaku maupun penerimanya.
Guru Besar Ilmu Fiqih Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta ini mengungkapkan, para pelaku dan penerima serangan fajar juga hidupnya tidak berkah.
Prof Niam menyampaikan, Majelis Ulama Indonesia juga telah menetapkan Fatwa tentang Hukum Permintaan dan atau Pemberian Imbalan atas proses pencalonan pejabat publik.
Penetapan fatwa tersebut dalam Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia di Banjarbaru, Kalimantan Selatan pada 2018.
Berikut isi ketetapan fatwa tersebut:
1. Suatu permintaan dan/atau pemberian imbalan dalam bentuk apapun terhadap proses pencalonan seseorang sebagai pejabat publik, padahal diketahui hal itu memang menjadi tugas, tanggung jawab, kekuasaan dan kewenanganya hukumnya haram, karena masuk kategori risywah (suap) atau pembuka jalan risywah.
2. Meminta imbalan kepada seseorang yang akan diusung dan/atau dipilih sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan publik lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya haram.
3. Memberi imbalan kepada seseorang yang akan mengusung sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan public lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya haram.
4. Imbalan yang diberikan dalam proses pencalonan dan/atau pemilihan suatu jabatan tertentu tersebut dirampas dan digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umum.
Mengacu pada fatwa MUI di atas, KH. Mokh. Nasuhi meminta kepada pasangan calon atau tim sukses tidak lagi melakukan aktivitas serangan fajar atau transaksi politik. Demikian pula kepada masyarakat agar tidak menerima pemberian dari Paslon tertentu dengan maksud memperjualbelikan suara. (emo).